KERAJAAN MATARAM KUNO
Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8) adalah kerajaan Hindu
di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Berdasarkan catatan yang terdapat pada
prasassti yang ditemukan, Kerajaan Mataram Kuno bermula sejak pemerintahan Raja
Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Ia memerintah Kerajaan
Mataram Kuno hingga 732M.
Atas : Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad
ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi,
pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan
Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama
Hindu dan Buddha.
Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah
Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang
berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain
ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi
Plaosan.
Kerajaan Mataram di
Jawa Tengah
Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri
dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa.
Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja
sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon,
Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah
Raja Sanna wafat.
Setelah Raha
Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra,
pendiri wangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya
seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri
Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari
wangsa Sailendra. Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh
keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan
anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai
Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya).
Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. SUmatra dan menjadi raja Sriwijaya.
Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. SUmatra dan menjadi raja Sriwijaya.
Pada masa Sri
Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi
perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri
Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan
tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G.
Merapi, Magelang, Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram di
Jawa Timur
Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai
peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun
kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri
Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh
(wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta
kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok
ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal
bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke
Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung,
kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur. Setelah
masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan
Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai
pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan
tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi
dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala.
Atas: Candi Plaosan di Klaten, Jawa Tengah, salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berlatar agama Buddha.
Atas : Arca Raja Airlangga, raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur, di Candi Belahan. Arca ini kini disimpan di Museum Trowulan.
Atas: Candi Plaosan di Klaten, Jawa Tengah, salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berlatar agama Buddha.
Atas : Arca Raja Airlangga, raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur, di Candi Belahan. Arca ini kini disimpan di Museum Trowulan.
TAHUKAH KAMU
Bencana alam karena letusan G. Merapi yang mengakibatkan berakhirnya Kerajaan Mataram Kuno dianggap sebagai paralaya atau kehancuran dunia.
Bencana alam karena letusan G. Merapi yang mengakibatkan berakhirnya Kerajaan Mataram Kuno dianggap sebagai paralaya atau kehancuran dunia.
Atas
: Candi Gedong Songo di
Ungaran, Jawa Tengah, merupakan candi peninggalan Kerjaan Mataram Kuno.
A. Lokasi
Kerajaab Mataram terletak di Jawa Tengah dengan pusatnya disebut Bumi Mataram. Daerahnya dikelilingi oleh pegunungan dan gunung-gunung. Ditengahnya mengalir banyak sungai. Karena itu daerahnya sangat subur yang memudahkan pertambahan penduduk. Menurut prasasti Sujomerto di Jawa Tengah hanya ada satu dinasti yaitu dynasti Syailendra yang semula beragama Hinsu Syiwa kemudian beralih beragama Budha.
Kerajaab Mataram terletak di Jawa Tengah dengan pusatnya disebut Bumi Mataram. Daerahnya dikelilingi oleh pegunungan dan gunung-gunung. Ditengahnya mengalir banyak sungai. Karena itu daerahnya sangat subur yang memudahkan pertambahan penduduk. Menurut prasasti Sujomerto di Jawa Tengah hanya ada satu dinasti yaitu dynasti Syailendra yang semula beragama Hinsu Syiwa kemudian beralih beragama Budha.
B. Sumber Sejarah
1. Sumber sejarah Mataram Hindu (8-10 M) Dynasti Sanjaya
a) Prasasti Canggal (732 M)
Pendiri sebuah Lingga di desa Kunjarakunja oleh Raden Sanjaya yang kaya padi dan emas mula-mula diperintah oleh Raja Sanna dan digantikan Sanjaya.
b) Prasasti Balitung (907 M)
Pemberian hadiah tanah kepada lima orang patih di Mantyasih yang telah berjasa terhadap kerajaan.
2. Sumber sejarah Mataram Budha (8-9 M) Dynasti Syailendra
a) Prasasti Kalasan (778)
Pembuatan bangunan suci bagi Dewi Tara (istri Budha) dan sebuah biara untuk para pendeta dalam kerajaan keluarga syailendra oleh Maharaja Tejahpurnama Panangkaran atas bujukan para guru sang raja Syailendra. Kemudian Panangkaran menghadiahkan Desa Kalasan kepada Sangga Budha.
b) Prasasti Kelurak (782 M)
Pembuatan arca Manjusri yang merupakan perwujudan sang Budha, Dharma dan Sangga yang setara dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa Raja yang memerintah saat itu bernama Indra.
c) Prasasti Ratu Boko (856 M)
Menceritakan kekalahan Balaputradewa yang kemudian melarikan diri ke Sriwijaya (menjadi raja) dalam perang saudara melawan kakaknya yaitu Pramodawardhani yang sudah menikah dengan Rakai Pikatan.
d) Prasasti Nalanda (860 M)
Asal-usul raja Balaputradewa sebagai putra dari raja Samaratungga dan cucu dari raja Indra ( dinasti Syailendra di Jawa Tengah)
e) Prasasti Ligor (860)
Dibuat oleh raja Balaputradewa yang mengaku sebagai cucu raja Jawa dari wangsa Syailendra dengan gelar Sri Wiramairinmathana.
1. Sumber sejarah Mataram Hindu (8-10 M) Dynasti Sanjaya
a) Prasasti Canggal (732 M)
Pendiri sebuah Lingga di desa Kunjarakunja oleh Raden Sanjaya yang kaya padi dan emas mula-mula diperintah oleh Raja Sanna dan digantikan Sanjaya.
b) Prasasti Balitung (907 M)
Pemberian hadiah tanah kepada lima orang patih di Mantyasih yang telah berjasa terhadap kerajaan.
2. Sumber sejarah Mataram Budha (8-9 M) Dynasti Syailendra
a) Prasasti Kalasan (778)
Pembuatan bangunan suci bagi Dewi Tara (istri Budha) dan sebuah biara untuk para pendeta dalam kerajaan keluarga syailendra oleh Maharaja Tejahpurnama Panangkaran atas bujukan para guru sang raja Syailendra. Kemudian Panangkaran menghadiahkan Desa Kalasan kepada Sangga Budha.
b) Prasasti Kelurak (782 M)
Pembuatan arca Manjusri yang merupakan perwujudan sang Budha, Dharma dan Sangga yang setara dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa Raja yang memerintah saat itu bernama Indra.
c) Prasasti Ratu Boko (856 M)
Menceritakan kekalahan Balaputradewa yang kemudian melarikan diri ke Sriwijaya (menjadi raja) dalam perang saudara melawan kakaknya yaitu Pramodawardhani yang sudah menikah dengan Rakai Pikatan.
d) Prasasti Nalanda (860 M)
Asal-usul raja Balaputradewa sebagai putra dari raja Samaratungga dan cucu dari raja Indra ( dinasti Syailendra di Jawa Tengah)
e) Prasasti Ligor (860)
Dibuat oleh raja Balaputradewa yang mengaku sebagai cucu raja Jawa dari wangsa Syailendra dengan gelar Sri Wiramairinmathana.
C. Kehidupan Politik
1. Kerajaan Mataram Hindu (Dynasti Sanjaya)
Raja yang memerintah Mataram Hindu dari prasasti Balitung:
Rakai Mataram Sang Ratu SanjayaØ
Sri Maharaja Rakai PanangkaranØ
Sri Maharaja Rakai PanunggalanØ
Sri Maharaja Rakai WarakØ
Sri Maharaja Rakai GarungØ
Sri Maharaja Rakai PikatanØ
Sri Maharaja Rakai KayuwangiØ
Sri Maharaja Rakai WatukumalangØ
Sri Maharaja Watukura Diah BalitungØ
1. Kerajaan Mataram Hindu (Dynasti Sanjaya)
Raja yang memerintah Mataram Hindu dari prasasti Balitung:
Rakai Mataram Sang Ratu SanjayaØ
Sri Maharaja Rakai PanangkaranØ
Sri Maharaja Rakai PanunggalanØ
Sri Maharaja Rakai WarakØ
Sri Maharaja Rakai GarungØ
Sri Maharaja Rakai PikatanØ
Sri Maharaja Rakai KayuwangiØ
Sri Maharaja Rakai WatukumalangØ
Sri Maharaja Watukura Diah BalitungØ
a) Kerajaan Mataram Hindu ( Dynasti Sanjaya)
Masa Ratu Sanjaya§
• Memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga rakyatnya terjamin keamanannya dan tentram.
• Dalam masalah agama beliau mendatangkan pendeta Hindu Gerahiran Siwa (pemujaan terhadap dewa tertinggi diberikan kepada Dewa Siwa).
• Mendirikan candi-candi untuk pemujaan para dewa.
• Meninggal pada pertengahan abad 8 dan digantikan oleh Rakai Panangkaran dan berturut-turut Rakai Panunggalan, Rakai Warak dan Rakai Garung.
Masa Sri Maharaja Rakai Pikatan§
• Mempunyai cita-cita menguasai seluruh wilayah Jawa Tengah.
• Melaksanakan perkawinan politik untuk mewujudkan cita-citanya yaitu mengawini Pramodawardhani (seharusnya sebagai pewaris tahta kerajaan Syailendra namun diberikan kepada adik dari istri selir yaitu Balaputradewa).
• Mendesak Pramodawardhani agar mau menarik kembali tahta kerajaan dari adiknya (menyebabkan terjadinya perang saudara).
Masa Sri Maharaja Watukura Diah Balitung§
• Seorang raja Mataram yang besar dan cakap.
• Berhasil mempersatukan kembali Mataram yang hampir terpecah belah akibat pertentangan antar kaum bangsawan.
• Kesejah teraan meningkat dan keamanan terjamin.
• Daerah kekuasaan meluas hingga Jawa Timur.
• Meninggalkan banyak prasasti dan yang terpenting adalah prasasti mantyasih yang berisi tentang silsilah raja Mataram dari Raja Sanjaya sampai dengan Raja Diah Balitung.
Masa Mpu Sindok§
• Karena khawatir akan terjadinya serangan dari Sriwijaya, pusat pemerintahan dipindah ke Jawa Timur (kekuasaan Mataram di Jawa Tengah berakhir).
Masa Ratu Sanjaya§
• Memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga rakyatnya terjamin keamanannya dan tentram.
• Dalam masalah agama beliau mendatangkan pendeta Hindu Gerahiran Siwa (pemujaan terhadap dewa tertinggi diberikan kepada Dewa Siwa).
• Mendirikan candi-candi untuk pemujaan para dewa.
• Meninggal pada pertengahan abad 8 dan digantikan oleh Rakai Panangkaran dan berturut-turut Rakai Panunggalan, Rakai Warak dan Rakai Garung.
Masa Sri Maharaja Rakai Pikatan§
• Mempunyai cita-cita menguasai seluruh wilayah Jawa Tengah.
• Melaksanakan perkawinan politik untuk mewujudkan cita-citanya yaitu mengawini Pramodawardhani (seharusnya sebagai pewaris tahta kerajaan Syailendra namun diberikan kepada adik dari istri selir yaitu Balaputradewa).
• Mendesak Pramodawardhani agar mau menarik kembali tahta kerajaan dari adiknya (menyebabkan terjadinya perang saudara).
Masa Sri Maharaja Watukura Diah Balitung§
• Seorang raja Mataram yang besar dan cakap.
• Berhasil mempersatukan kembali Mataram yang hampir terpecah belah akibat pertentangan antar kaum bangsawan.
• Kesejah teraan meningkat dan keamanan terjamin.
• Daerah kekuasaan meluas hingga Jawa Timur.
• Meninggalkan banyak prasasti dan yang terpenting adalah prasasti mantyasih yang berisi tentang silsilah raja Mataram dari Raja Sanjaya sampai dengan Raja Diah Balitung.
Masa Mpu Sindok§
• Karena khawatir akan terjadinya serangan dari Sriwijaya, pusat pemerintahan dipindah ke Jawa Timur (kekuasaan Mataram di Jawa Tengah berakhir).
2. Kerajaan Mataram Budha (Dynasti Syailendra)
Raja-raja yang memerintah Dinasti Syailendra antara lain:
Raja Bhanu (752-775 M)Ø
Raja Wisnu (775-782 M)Ø
Raja Indra (782-812 M)Ø
Raja Samaratungga (812-833 M)Ø
Raja Balaputradewa (833-856 M)Ø
Ratu Pramodawardhani (856 M)Ø
Masa Raja Indra§
• Menjalankan politik ekspansi dengan sasaran menguasai daerah-daerah disekitar selat Malaka.
• Menjalankan pernikahan politik yaitu menikahkan Samaratungga dengan putri Raja Sriwijaya.
Masa Raja Samaratungga§
• Membangun candi Borobudur yang diselesaikan oleh putranya yaitu Balaputradewa.
Masa Raja Balaputradewa§
• Terjadi perang saudara antara Balaputradewa dengan Pramodawardhani dan diakhiri dengan pelarian diri Balaputradewa ke Sriwijaya (menjadi raja)
Raja-raja yang memerintah Dinasti Syailendra antara lain:
Raja Bhanu (752-775 M)Ø
Raja Wisnu (775-782 M)Ø
Raja Indra (782-812 M)Ø
Raja Samaratungga (812-833 M)Ø
Raja Balaputradewa (833-856 M)Ø
Ratu Pramodawardhani (856 M)Ø
Masa Raja Indra§
• Menjalankan politik ekspansi dengan sasaran menguasai daerah-daerah disekitar selat Malaka.
• Menjalankan pernikahan politik yaitu menikahkan Samaratungga dengan putri Raja Sriwijaya.
Masa Raja Samaratungga§
• Membangun candi Borobudur yang diselesaikan oleh putranya yaitu Balaputradewa.
Masa Raja Balaputradewa§
• Terjadi perang saudara antara Balaputradewa dengan Pramodawardhani dan diakhiri dengan pelarian diri Balaputradewa ke Sriwijaya (menjadi raja)
D. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonominya bersumber pada usaha pertanian. Hal ini dapat dibuktikan adanya pemberian tanah kepada para Sanggha didaerah kalasan dari pembebasan pajak patapanpupalar di Muntilan. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, perdagangan mulai berkembang dalam prasasti Purworejo (900 M), raja memerintah pusat-pusat perdagangan. Untuk keadaan perekonomian dinasti Syailendra tidak diketahiu dengan pasti mungkin juga tidak jauh berbeda dengan dinasti Sanjaya.
Kehidupan ekonominya bersumber pada usaha pertanian. Hal ini dapat dibuktikan adanya pemberian tanah kepada para Sanggha didaerah kalasan dari pembebasan pajak patapanpupalar di Muntilan. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, perdagangan mulai berkembang dalam prasasti Purworejo (900 M), raja memerintah pusat-pusat perdagangan. Untuk keadaan perekonomian dinasti Syailendra tidak diketahiu dengan pasti mungkin juga tidak jauh berbeda dengan dinasti Sanjaya.
E. Kehidupan Sosial Budaya
Pada zaman Mataram, hubungan antara kalangan istana dan desa-desa cukup erat. Untuk menjaga keamanan terdapat berbagai peraturan yang harus ditaati oleh semua orang (pegawai maupun rakyat). Hal ini berarti menunjukkan bahwa masyarakat Mataram hidupnya sudah teratur. Kehidupan sosial masyarakat tersebut tidak jauh berbeda antara kerajaan dinasti Sanjaya maupun dinasti Syailendra.
Keturunan raja Sanjaya yang beragama hindu mendirikan candi-candi di Jawa Tengah utara seperti candi di dataran tinggi Dieng yang dibangun antara 778-850 M, candi prambanan/ Loro Jonggrang (yang dibangun oleh Rakai Pikatan dan diteruskan oleh penggantinya dan selesai pada masa pemerintahan Raja Daksa 915 M), candi Sambisari, candi Ratu Baka dan lain-lain. Sedang pada dinasti Syailendra yang beragama Budha mendirikan candi mendut, pawon, borobudur, kalasan, sari dan sewu.
Pada zaman Mataram, hubungan antara kalangan istana dan desa-desa cukup erat. Untuk menjaga keamanan terdapat berbagai peraturan yang harus ditaati oleh semua orang (pegawai maupun rakyat). Hal ini berarti menunjukkan bahwa masyarakat Mataram hidupnya sudah teratur. Kehidupan sosial masyarakat tersebut tidak jauh berbeda antara kerajaan dinasti Sanjaya maupun dinasti Syailendra.
Keturunan raja Sanjaya yang beragama hindu mendirikan candi-candi di Jawa Tengah utara seperti candi di dataran tinggi Dieng yang dibangun antara 778-850 M, candi prambanan/ Loro Jonggrang (yang dibangun oleh Rakai Pikatan dan diteruskan oleh penggantinya dan selesai pada masa pemerintahan Raja Daksa 915 M), candi Sambisari, candi Ratu Baka dan lain-lain. Sedang pada dinasti Syailendra yang beragama Budha mendirikan candi mendut, pawon, borobudur, kalasan, sari dan sewu.
KERAJAAN MATARAM HINDU-BUDHA
Kerajaan Mataram
Kuno atau disebut dengan Bhumi Mataram. Pada awalnya terletak di Jawa Tengah.
Daerah Mataram dikelilingi oleh banyak pegunungan seperti pegunungan serayu,
gunung prau, gunung sindoro, gunung sumbing, gunung ungaran, gunung merbabu,
gunung merapi, pegunungan kendang, gunung lawu, gunung sewu serta gunung kidul.
Daerah ini juga banyak mengalir sungai besar diantaranya sungai Progo, Bogowonto, Elo, dan Bengawan Solo. Kerajaan ini sering
disebut dengan Kerajaan Mataram Kuna sebagai pembeda dengan Mataram Baru
atau Kesultanan Mataram (Islam). Kerajaan Mataram merupakan
daerah yang subur yang memudahkan terjadinya pertumbuhan penduduk yang
cukup pesat dan merupakan kekuatan utama bagi Negara darat..
Kerajaan Mataram berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan
antara abad ke-8 dan abad ke-10. Nama Mataram
sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
A.
Mataram
Hindu – Wangsa Sanjaya (732 M)
Sejarah dan Lokasi
Prabu Harisdarma
seorang raja dari Kerajaan Sunda. Ia juga merupakan penerus Kerajaan
Galuh yang sah. Ayahnya bernama Bratasenawa yang merupakan raja ketiga Kerajaan
Galuh. Saat pemerintahan Bratasenawa pada tahun 716 M, Kerajaan Galuh dikudeta
oleh Purbasora. Purbasora dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain
ayah. Bratasenawa beserta keluarga melarikan diri ke Pakuan, pusat
Kerajaan Sunda, dan meminta bantuan pada Tarusbawa. Tarusbawa sendiri adalah
teman dekat Prabu Harisdarma sendiri adalah suami dari cucu Tarusbawa.
Sanjaya yang
merupakan penerus Kerajaan Galuh menyerang Purbasora yang saat itu menguasai
Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil melengserkannya.
Prabu Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda Galuh. Prabu Harisdarma yang
juga ahli waris dari Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang
disebut Bumi Mataram dan dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732 M. Sanjaya
atau Prabu Harisdarma, raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M), menjadi raja
Kerajaan Mataram (Hindu) (732-760 M). ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno
sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.
Sumber Sejarah
Prasasti Canggal
Prasasti yang
ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka Tahun 732 M
dalam bentuk Candrasangkala. Menggunakan huruf pallawa dan bahasa sangsekerta.
Isi dari prasasti tersebut menceritakan tentang pendirian Lingga
(lambang Syiwa) yang merupakan agama Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja
oleh Raja Sanya serta menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah
sena yang kemudian digantikan oleh Sanjaya.
Prasasti
Metyasih/Balitung
Prasasti ini
ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907 M. Prasasti Metyasih yang
diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) terbuat
dari tembaga.. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan pemberian hadiah
tanah kepada lima orang patihnya di Metyasih, karena telah berjasa besar
terhadap Kerajaan serta memuat nama para raja-raja Mataram Kuno.
Kehidupan Ekonomi, Sosial, Politik dan Budaya
Dari prasasti
Metyasih tersebut, didapatkan nama-nama raja dari Wangsa Sanjaya yang pernah
berkuasa, yaitu :
1.
Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya (732-760 M)
Masa Sanjaya
berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi siwa di Gunung Dieng.
Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional. Pendidikan puisi
merupakan pendidikan yang wajib diikuti oleh umum, terlebih bagi kalangan
pegawai istana dan pemuka masyarakat.
Sanjaya
memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak cucunya. Apabila sang Raja yang
berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus berhati-hati dalam tingkah laku,
hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang raja. Bila melihat gerak lirik
raja, tenagkanlah dirimu menerima perintah dan tindakan dan harus menangkap
isinya. Bila belum mampu mengadu kemahiran menagkap tindakan, lebih baik duduk
terdiam dengan hati ditenangkan dan jangan gentar dihadapan sang raja.
Sanjaya selalu
menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan prajurit kerajaan. Ada
empat macam perbuatan luhur untuk mencapai kehidupan sempurna, yaitu :
·
Tresna (Cinta Kasih)
·
Gumbira (Bahagia)
·
Upeksa (tidak mencampuri
urusan orang lain)
·
Mitra (Kawan, Sahabat,
Saudara atau Teman)
Sri Rakai Mataram
Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia digantikan oleh
putranya Rakai Panangkaran.
2.
Sri Maharaja Rakai
Panangkaran (760-780 M)
Rakai Panangkaran
yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan potensi wilayahnya. Rakai
Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya dengan mengambangkan potensi wilayahnya.
Nasehatnya yang
terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia adalah :
·
Kasuran (Kesaktian)
·
Kagunan (Kepandaian)
·
Kabegjan (Kekayaan)
·
Kabrayan (Banyak Anak Cucu)
·
Kasinggihan (Keluhuran)
·
Kasyuwan (Panjang Umur)
·
Kawidagdan (Keselamatan)
Menurut Prasati
Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang
bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa
Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.
3.
Sri Maharaja Rakai Panaggalan
(780-800 M)
Rakai Pananggalan
yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu. Beliau berjasa atas
sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga memberikan rambu-rambu dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berikut ini “Keselamatan dunia
supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi jangan
lupa akan tata hidup”
Visi dan Misi
Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan.
Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti empat
Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat. Catur
Guru terdiri dari :
·
Guru Sudarma, orang tua yang
melairkan manusia.
·
Guru Swadaya, Tuhan
·
Guru Surasa, Bapak dan Ibu
Guru di sekolah
·
Guru Wisesa, Pemerintah
pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama
Pemberian
penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran hukum dan
pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.
4.
Sri Maharaja Rakai Warak
(800-820 M)
Rakai Warak, yang
berarti raja mulia yang peduli pada cita-cita luhur. Pada masa pemerintahannya,
kehidupan dalam dunia militer berkembang dengan pesat. Berbagai macam senjata
diciptakan. Rakai Warak sangat mengutamakan ketertiban yang berlandaskan pada
etika dan moral. Saat Rakai Warak berkuasa, ada tiga pesan yang diberikan,
yaitu :
1.
Kewajiban raja adalah jangan
sampai terlena dalam menata, meneliti, memeriksa dan melindungi.
2.
Pakaian raja adalah
menjalankanlah dengan adil dalam memberi hukuman dan ganjaran kepada yang
bersalah dan berjasa.
3.
Kekuatan raja adalah bisa
mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi anugrah.
5.
Sri Maharaja Rakai
Garung (820-840 M)
Garung memiliki
arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Demi
memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai Garung bekerja siang hingga malam.
Hal ini dilakukan tak lain hanya mengharap keselamatan dunia raya yang
diagungkan dalam ajarannya.
Dalam menjalankan
pemerintahannya Rakai Garung memiliki prinsip tri kaya parasada yang
berarti tiga perilaku manusia yang suci. Tri Kaya Parasada yang dimaksud, yaitu
:
·
Manacika yang berarti
berfikir yang baik dan benar.
·
Wacika yang berarti berkata
yang baik dan benar.
·
Kayika yang berarti berbuat
yang baik dan benar.
6.
Sri Maharaja Rakai Pikatan
(840 – 856 M)
Dinasti Sanjaya
mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai Pikatan. Dalam Prasasti
Tulang Air di Candi Perut (850 M) menyebutkan bahwa Rakai Pikatan yang bergelar
Ratu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Pada masa pemerintahannya, pasukan
Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap
mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat
dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang.
Pada zaman Rakai
Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro Jonggrang. Pembuatan
Candi tersebut terdapat dalam prasasti Siwagraha yang berangka tahun 856 M.
Rakai Pikatan terkenal dengan konsepnya Wasesa Tri Dharma yang berarti
tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia.
7.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
(856 – 882 M)
Prasasti Siwagraha
menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memiliki gelar Sang Prabu Dyah
Lokapala. Tugas utamanya yaitu memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi
keselamatan warga negaranya.
Pada masa
pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada enam alat untuk
mencari ilmu, yaitu :
1.
Bersungguh-sungguh tidak
gentar
Semua tutur kata
dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan menyatu.
2.
Bertenggang rasa
Memperhatikan
sikap yang kurang baik dengan kebenaran.
3.
Ulah pikiran
Menimbang-nimbang
dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan kemauan yang diterapkan harus atas
pemikiran yang tepat.
4.
Penerapan ajaran
Dalam setiap
melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan sampai tergesa-gesa. Jangan
melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini perlu untuk diketahui
5.
Kemauan
Sanggup sehidup
semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri. Dalam kata lain, tekad dan
niat harus dilakukan dantidak segan-segan dalam melakukan pekerjaan
6.
Menguasai berbagai bahasa
Memahami semua
bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu mengakrabi siapa saja.
8.
Sri Maharaja Rakai
Watuhumalang (882 – 899 M)
Sri Maharaja
Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam menjalankan pemerintahannya. Prinsip
yang dipegangnya adalah Tri Parama Arta yang berarti tiga
perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri
Parama Arta terdiri dari :
1.
Cinta Kasih, menyayangi dan
mengasihi sesama makhluk sebagaimana mengasihi diri sendiri.
2.
Punian, perwujudan cinta
kasih dengan saling tolong menolong dengan memberikan sesuatu yang dimiliki
secara ikhlas.
3.
Bakti, perwujudan hati nurani
berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua, guru dan pemerintah.
9.
Sri Maharaja Watukumara Dyah
Balitung (898 – 915 M)
Pada masa
pemerintahannya beliau memiliki seorang teknokrat intelektual yang handal
bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi gagasan Sang Prabu Dyah Balitung.
Masa pemerintahannya duja menjadi masa keemasan bagi Wangsa Sanjaya. Sang Prabu
aktif mengolah cipta karya untuk mengembangkan kemajuan masyarakatnya. Dalam
mengolah cipta karya, tahun 907 Dyah Balitung membuat Prasasti Kedu atau
Metyasih yang berisikan nama-nama raja Kerajaan Mataram Wangsa Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil lakon Bima di
masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu.
10.
Sri Maharaja Rakai Daksottama
(915 – 919 M)
Daksottama yang
berarti sorang pemimpin yang utama dan istimewa. Pada masa pemerintahan Dyah
Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk menggantikannya sebagai raja Mataram
Hindu.
11.
Sri Maharaja Dyah Tulodhong
(919 – 921 M)
Rakai Dyah
Tulodhong mengabdikan dirinya kepada masyarakat menggantikan kepemimpinan Rakai
Daksottama. Keterangan tersebut termuat dalam Prasasti Poh Galuh yang berangka
tahun 809 M. Pada masa pemerintahannya, Dyah Tulodhong sangat
memperhatikan kaum brahmana
12.
Sri Maharaja Dyah Wawa ( 921
– 928 M)
Rakai Sumba Dyah
Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 921 M. Beliau terkenal sebagai
raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga sangat terkenal dalam kancah
politik internasional.
Roda perekonomian
pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam menjalankan
pemerintahannya Dyah Wawa memiliki visiTri Rena Tata yang berarti tiga
hutang yang dimiliki manusia. Pertama hutang kepada Tuhan yang menciptakannya,
Kedua hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya. Dan ketiga, hutang
ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.
13.
Sri Maharaja Rakai Empu
Sendok (929 – 930 M)
Empu Sendok,
terkenal dengan kecerdasan, ketangkasan , kejujuran dan kecakapannya. Manajemen
dan Akuntansi dikuasai, psikologi diperhatikan.
Keruntuhan Wangsa Sanjaya
Pada abad ke-10,
Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sendok yang memiliki integritas
dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah pemerintahan
Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang pemerintahan setelah
Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang dilancarkan oleh
Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan perpindahan dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram
kuno/lama berkembang di daerah Jawa Tengah, sumber yang menerangkan keberadaan
Kerajaan Mataram kono antara lain prasasti. Prasasti-prasasti itu adalah
Prasasti Canggal, Balitung, Kalasan, Kelurak, dan Karangtengah.
-
Prasasti Canggal
Prasasti ini ditemukan di Desa Canggal, di Gunung Wukir sebelah barat daya Magelang. Prasasti Canggal berangka taahun 732 M dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isinya menerangkan, bahwa “Raja Sanjaya mendirikan sebuah lingga di Bukit Kunjarakunja”. Selain itu, juga disebutkan bahwa Jawa kaya akan padi emas. Asal usul Raja Sanjaya dapat diterangkan sebagai berikut.
Prasasti ini ditemukan di Desa Canggal, di Gunung Wukir sebelah barat daya Magelang. Prasasti Canggal berangka taahun 732 M dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isinya menerangkan, bahwa “Raja Sanjaya mendirikan sebuah lingga di Bukit Kunjarakunja”. Selain itu, juga disebutkan bahwa Jawa kaya akan padi emas. Asal usul Raja Sanjaya dapat diterangkan sebagai berikut.
Mula-mula
Kerajaan Mataram Lama diperintah oleh Raja Sanna. Ia memerintah dengan
bijaksana dalam waktu yang cukup lama. Tetapi, setelah Sanna meninggal,
kerajaannya menjadi terpecah karena kehilangan pelindungnya. Pengganti Sanna
adalah Sanjaya. Sanjaya adalah anak saudara perempuan Sanna yang bernama
Sanaha. Raja Sanjaya menguasai daerah-daerah di sekitarnya dan menciptakan
kemakmuran bagi rakyatnya.
Prasasti ini
menginformasikan bahwa Kerajaan Mataram Lama berdiri sekitar abad ke-8 M.
Pendirian lingga dianggap sebagai suatu peringatan yang menandai berdirinya
Kerajaan Mataram Lama. Oleh
karena itu, Sanjaya dianggap sebagai pendiri Kerajaan Mataram Lama. Selain itu,
Sanjaya memeluk agama Hindu Syiwa, karena lingga merupakan lambang Dewa Syiwa.
-
Prasasti Balitung
Prasasti Balitung disebut juga Mantyasih atau Kedu. Prasasti yang dibuat oleh Raja Balitung ini, ditemukan di Desa Mantyasih daerah Kedu. Prasasti ini berangka tahun 907 M. Bentuknya berupa lempengan tembaga dan berisi silsilah Dinasti Sanjaya. Prasasti tersebut berbunyi, “Rahyangta rumuhun ri medang ri poh pitu”. Artinya, dewa-dewa atau nenek moyang yang telah meninggal di Medang di Pohpitu. Dalam prasasti ini terdapat nama-nama seperti:
- Sri Maharaja Rakai Mataram sang Ratu Sanjaya
- Sri Maharaja Rakai Panangkaaran
- Sri Maharaja Rakai Panunggalan
- Sri Maharaja Rakai Warak
- Sri Maharaja Rakai Garung
- Sri Maharaja Rakai Pikatan
- Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
- Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
- Sri Maharaja Rakai Watuhura Dyah Balitung
Prasasti Balitung disebut juga Mantyasih atau Kedu. Prasasti yang dibuat oleh Raja Balitung ini, ditemukan di Desa Mantyasih daerah Kedu. Prasasti ini berangka tahun 907 M. Bentuknya berupa lempengan tembaga dan berisi silsilah Dinasti Sanjaya. Prasasti tersebut berbunyi, “Rahyangta rumuhun ri medang ri poh pitu”. Artinya, dewa-dewa atau nenek moyang yang telah meninggal di Medang di Pohpitu. Dalam prasasti ini terdapat nama-nama seperti:
- Sri Maharaja Rakai Mataram sang Ratu Sanjaya
- Sri Maharaja Rakai Panangkaaran
- Sri Maharaja Rakai Panunggalan
- Sri Maharaja Rakai Warak
- Sri Maharaja Rakai Garung
- Sri Maharaja Rakai Pikatan
- Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
- Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
- Sri Maharaja Rakai Watuhura Dyah Balitung
- Prasasti Kalasan
Prasasti Kalasan berangka tahun 776 M. Adapun isinya adalah “Para guru sang raja mustika keluarga Syailendra telah berhasil membujuk Maharaja Tejahpurnapana Panangkaran untuk membangun sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara para pendeta. Raja panangkarana menghadiahkan sebuah tanah di Kalasan kepada para Sangha”.
Prasasti Kalasan berangka tahun 776 M. Adapun isinya adalah “Para guru sang raja mustika keluarga Syailendra telah berhasil membujuk Maharaja Tejahpurnapana Panangkaran untuk membangun sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara para pendeta. Raja panangkarana menghadiahkan sebuah tanah di Kalasan kepada para Sangha”.
Informasi yang diperoleh dari prasasti ini menunjukkan bahwa
sekitar abad 8 M dan 9 M di Mataram Lama telah terjalin kerukunan umat
beragama. Raja Panangkaran yang beragam Hindu mendirikan bangunan suci untuk
umat Budha. Walaupun pada saat itu Dinasti Sanjaya mulai terdesak oleh Wangsa
Syailendra, kedudukan raja-raja Sanjaya tetap di akui.
- Prasasti Kelurak
Prasasti Kelurak berangka tahun 782 M. Pada prasasti ini terdapat tulisan yang menerangkan bahwa seorang raja yang bernama Indra membuat bangunan suci dan Arca Manjusri. Tulisan itu menggunakan huruf Pranagari dan berbahasa Sansekerta. Mungkin yang dimaksud dengan bangunan suci dalam tulisan itu adalah Candi Sewu. Candi Sewu ini terletak di sebelah Candi Prambanan.
Prasasti Kelurak berangka tahun 782 M. Pada prasasti ini terdapat tulisan yang menerangkan bahwa seorang raja yang bernama Indra membuat bangunan suci dan Arca Manjusri. Tulisan itu menggunakan huruf Pranagari dan berbahasa Sansekerta. Mungkin yang dimaksud dengan bangunan suci dalam tulisan itu adalah Candi Sewu. Candi Sewu ini terletak di sebelah Candi Prambanan.
- Prasasti Karangtengah
Prasasti Karangtengah berangka tahun 824 M. Pada Prasasti ini terdapat tulisan yang menerangkan bahwa Raja Samarattungga mendirikan bangunan suci di Wenuwana. Para ahli menyebutnya sebagai Candi Ngawen. Candi ini terletak di sebelah barat Muntilan. Disebutkan juga bahwa putrinya yang bernama Pramodhawardani membebaskan pajak tanah di sekitar sekitar baangunan suci untuk pemeliharaan Kamulan di Bumisambhara. Dalam hal ini yang dimaksudkan Kamulan Bumisambhara adalah Candi Borobudur. Jadi, Candi Borobudur dibangun atas perintah Samaratungga, sedangkan arsiteknya adalah Ganadharma.
Prasasti Karangtengah berangka tahun 824 M. Pada Prasasti ini terdapat tulisan yang menerangkan bahwa Raja Samarattungga mendirikan bangunan suci di Wenuwana. Para ahli menyebutnya sebagai Candi Ngawen. Candi ini terletak di sebelah barat Muntilan. Disebutkan juga bahwa putrinya yang bernama Pramodhawardani membebaskan pajak tanah di sekitar sekitar baangunan suci untuk pemeliharaan Kamulan di Bumisambhara. Dalam hal ini yang dimaksudkan Kamulan Bumisambhara adalah Candi Borobudur. Jadi, Candi Borobudur dibangun atas perintah Samaratungga, sedangkan arsiteknya adalah Ganadharma.
Raja-raja mataram lama
Telah dijelaskan di atas, bahwa pada akhir abad ke-8 M
Dinasti Sanjaya mulai terdesak oleh Dinasti Syailendra. Karena itu,
masing-masing dinasti mempunyai wilayah tersendiri. Daerah kekuasaan Sanjaya
adalah Jawa Tengah bagian utara, sedangkan kekuasaan Syailendra di wilayah Jawa
Tengah bagian selatan. Kesimpulan ini berdasarkan peninggalan-peninggalan
mereka. Candi-candi Hindu sebagian besar terdapat di Jawa Tengah bagian utara,
sedangkan candi-candi Budha terdapat di Jawa Tengah bagian selatan. Kata
Syailendra berarti “Raja Gunung”, karena Saila berarti “gunung” dan Indra
adalah “raja”.
Berdasarkan prasasti yang ditemukan tersebut akhirnya dapat
dibuat susunan raja-raja Dinasti Syailendra, seperti berikut.
Raja Banu
memerintah pada tahun 752M – 775M.
Raja Wisnu
memerintah pada tahun 775M – 782M.
Raja Indra
memerintah pada tahun 782M – 812M.
Raja
Samarattungga memerintah pada tahun 812M -833M.
Raja
Pramodhawardhani memerintah pada tahun 833M – 856M.
Kedudukan
Syailendra sebelum mendesak kedudukan Sanjaya tidak diketahui dengan pasti. Pendesakan
ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Wisnu. Puncak kejayaan Dinasti
Syailendra terjadi pada masa pemerintahan Raja Indra. Mataram Lama menjadi kerajaan
agromaritim. Artinya, mereka tidak hanya mengutamakan bidaang pertanian, tetapi
juga bergerak di bidang pelayaran dan perdagangan. Pengganti Indra adalah
Samarattungga yang berhasil membangun Candi Borobudur.
Kemunduran
Dinasti Syailendra tampaknya terjadi pada masa pemerintahan Samarattungga. Demi
menyelamatkan kedudukannya, Samarattungga mengadakan perkawinan politik antara
Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Perkawinan ini
ditentang oleh Balaputradewa. Sepeninggal Samarattungga, di Mataram terjadi
perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa. Balaputradewa adalah
puta lain dari Samarattungga. Perang ini terjadi karena Balaputadewa merasa
lebih berhak atas tahta kerajaan dari pada Rakai Pikatan. Perang ini terjadi
pada tahun 856 M. Balaputradewa mengalami kekalahan. Akhirnya Balaputradewa
melarikan diri ke Sumatera dan menjadi Raja Sriwijaya. Jadi, sejak saat itu
berakhirlah kekuasaan Dinasti Syailendra di Mataram. Lalu, Dinasti Sanjaya
berkuasa kembali.
Pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan, wilayah Mataram meliputi Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Beliau mendirikan bangunan suci untuk agama Hindu dan Budha, antara lain
Candi Plaosan dan Candi Prambanan.
Rakai Pikatan
digantikan oleh Rakai Kayuwangi (856-866). Beliau beragama Hindu Syiwa. Beliau
digantikan oleh Rakai Watuhumalang, tetapi kurang dikenal karena tidak banyak
prasasti yang ditinggalkannya. Beliau digantikan oleh Raga Balitung (896 M
sampai 930 M) dengan gelar Watukumara.
Pada masa
pemerintahan Balitung banyak ditemukan prasasti, baik di Jawa Tengah maupun di
Jawa Timur. Berdasarkan penelitian terhadap prasasti tersebut, ternyata wilayah
kekuasaan Balitung meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Raja Balitung
membangun juga kompleks Candi Prambanan yang sudah dirintis oleh Rakai Pikatan.
Pembangunannya baru selesai pada masa pemerintahan Daksa (pengganti Balitung).
Pada masa Balitung dikenal jabatan-jabatan, seperti Rakryan i Hino, Rakryan i
Halu, dan Rakryan i Sirikan. Mereka adalah tritunggal yang penting dalam kerajaan.
Pada tahun 910M,
Raja Balitung digantikan oleh Daksa, yang memegang pemerintahan hingga tahun
919M. Daksa digantikan oleh Raja Tulodong. Pemerintahan Raja Daksa dan Tulodong
tidak begitu jelas, karena sedikit prasasti yang ditinggalkan. Raja Tulodong
adalah raja terakhir yang meninggalkan prasasti-prasasti di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Pengganti
Tulodong adalah Raja Wawa dengan gelar Srijayalokanamottungga. Raja Wawa
memerintah pada taahun 924M sampai 929M. Pengganti Raja Wawa adalah menantunya,
yaitu Mpu Sindok. Beliau memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Mpu Sindok
bukan berasal dari Dinasti Syailendra, melainkan dari Dinasti Isyana.
Peninggalan kerajaan mataram lama
Peninggalan kerajaan mataram lama berupa candi-candi pada masa Dinasti Sanjaya dan Syailendra.
Peninggalan Dinasti Sanjaya meliputi:
- Candi Prambanan
- Candi Dedong songo
- Kompleks Candi Dieng
- Candi Pringapus
- Candi Selogrio
Peninggalan Dinasti Syailendra meliputi:
- Candi Borobudur
- Candi Pawon
- Candi Kalasan
- Candi Sari
- Candi Sewu
- Candi Ngawen
- Candi Borobudur
- Candi Pawon
- Candi Kalasan
- Candi Sari
- Candi Sewu
- Candi Ngawen
LETUSAN MERAPI 1006
MENYEBABKAN KERAJAAN MATARAM HINDU PINDAH
Gunung Merapi (2.968 m dpl.) sebagai salah satu gunung api
aktif Indonesia
telah banyak menarik perhatian masyarakat, baik karena aktivitasnya maupun
keunikannya bila ditinjau dari sisi ilmiah maupun budaya. Banyak penelitian
yang telah dilakukan berkaitan dengan pemantauan untuk keperluan mitigasi
maupun untuk peningkatan pemahaman terhadap karakteristik Gunung Merapi itu
sendiri.
Prambanan Salah Satu Sisa Peradaban Mataram
Seperti diketahui, selama ini letusan Merapi dikenal selalu
mengarah ke barat atau baratdaya. Hal ini dapat dipahami karena kawah aktif
Gunung Merapi saat ini terbuka ke arah barat-baratdaya. Sehingga selama
pertumbuhan kubah lava masih di dalam dan belum melampaui dinding kawah, maka
letusan akan mengarah ke barat – baratdaya. Namun bila dinding kawah telah
terlampaui dan pertumbuhan kubah melimpah keluar kawah, maka kondisi ini dapat
mengganggu kestabilan kubah.
Perpindahan Mataram
Hal tersebut akan mendorong longsornya kubah dan menyebabkan
letusan yang terjadi mengarah ke sektor tersebut. Letusan tahun 1954-1956 yang
mengarah ke utara merupakan contoh kasus tersebut. Dalam sejarah letusannya,
Gunung Merapi dicirikan dengan perubahan yang sangat berarti pada tipe
letusannya. Pada masa sekarang, letusan Gunung Merapi berkaitan dengan
pertumbuhan dan gugurnya kubah lava, dan menghasilkan awan panas yang oleh
kalangan ahli gunung api disebut sebagai Tipe Merapi karena sifatnya yang khas.
Tipe letusan ini juga disebut “Wedhus Gembel” oleh masyarakat di sekitar
Merapi. Dalam sejarah letusannya tercatat letusan yang paling tua diketahui
adalah tahun 1006 (Data Dasar Gunung Api, 1979). Namun catatan terperinci
mengenai letusan ini tidak diketahui.
Asumsi terdahulu menyebutkan bahwa longsornya Merapi dan
letusannya yang besar pada tahun 1006 telah menyebabkan perpindahan Kerajaan
Hindu Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Ijzerman, 1891; Scheltema, 1912;
Labberton, 1922; van Bemmelen, 1949, 1956, 1971). Tetapi pernyataan ini
disanggah oleh Boechari (1976), karena Mpu Sindok telah memerintah di Delta
Brantas pada waktu itu.
Asal Mula Angka Letusan Tahun 1006
Ada
beberapa hal yang menyebabkan munculnya angka letusan tahun 1006, dan yang
menjadikan asumsi Bemmelen dianggap sebagai suatu kebenaran. Asal mulanya
adalah dari ditemukannya Prasasti Kalkuta di India yang berangka tahun 963 Saka
(1041) yang disebut juga sebagai Prasasti Pucangan. Di dalam prasasti tersebut
dinyatakan bahwa telah terjadi bencana besar (pralaya) pada tahun 928 Saka
(1006) akibat serangan Raja Wurawari dari Lwaram terhadap Kerajaan Mataram Hindu.
Hal ini juga dikuatkan oleh Kern (1913) yang mengemukakan bahwa runtuhnya
Kerajaan Mataram Hindu disebabkan oleh perang. Sementara itu, Labberton (1922)
mengaitkan kemungkinan penyebab runtuhnya kerajaan tersebut dengan kejadian
vulkanik.
Labberton (1922) dan Bemmelen (1949) juga berasumsi bahwa
letusan pada tahun 1006 telah mengakibatkan perpindahan Kerajaan Mataram Hindu
ke Jawa Timur. Lebih lanjut Bemmelen (1949) menghubungkan letusan tersebut
dengan runtuhnya bagian puncak Merapi ke arah barat. Dijelaskan bahwa letusan
besar tahun 1006 terjadi akibat pergerakan tektonik sepanjang sesar transversal
yang menjadi dasar deretan Gunung Api Ungaran – Merapi. Diperkirakan gempa
menyertai pergerakan tersebut dan merusak sebagian Candi Borobudur dan Mendut
yang dibangun pada abad ke-9. Aktivitas tektonik ini diikuti dengan terjadinya
longsoran Merapi dan letusan besar yang produk letusannya diperkirakan menutup
candi-candi tersebut, merusak Kerajaan Mataram Hindu Kuno di Jawa Tengah, dan
membendung aliran Kali Progo. Longsoran tersebut membentuk Perbukitan Gendol
yang terletak di bagian barat Merapi.
Aktivitas Gunung Merapi dan Sejarah Letusannya
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia
seperti ditunjukkan oleh intensitas letusannya yang tinggi. Letusan Gunung
Merapi terjadi sekali dalam kurun waktu 1-7 tahun. Dengan masa tidak aktif
paling lama 12 tahun (Bemmelen, 1949) terjadi pada tahun 1849-1861.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa beberapa letusan
besar telah terjadi di masa lalu 1006. Kejadian letusan paling dekat dengan
waktu tersebut adalah letusan yang terjadi sekitar 1112 ± 73 tahun yang lalu
berdasarkan penentuan umur menggunakan Karbon. Letusan ini bertipe plinian dan
menghasilkan Selo tefra dalam indeks letusan 3-4, dengan kolom letusan setinggi
10 km vertikal (Andreastuti, 1999, p 32). Pada tipe lokasinya di daerah
Plalangan, lereng utara Gunung Merapi, endapan ini menunjukkan perulangan
lapisan jatuhan piroklastika.
Bukti Sejarah
Fakta sejarah menunjukkan bahwa terdapat kesalahan
interpretasi pada Prasasti Pucangan yang dibuat oleh Raja Airlangga (1019-1042)
pada tahun 1041. Semula Kern (1913) menyebutkan bahwa pralaya terjadi pada
tahun 928 Saka (1006). Namun hal ini dibantah oleh Boechari (1976) yang
mengemukakan bahwa pralaya terjadi pada tahun 1016. Sementara itu Sedyawati
(2006) menyebutkan bahwa pralaya terjadi pada tahun 939 Saka (tahun 1017).
Dalam prasasti di atas juga dinyatakan bahwa pralaya yang terjadi disebabkan
oleh serangan Raja Wurawari dari Lwaram. Pralaya itu sendiri terjadi pada jaman
pemerintahan Raja Darmawangsa Tguh (991-1016).
Catatan sejarah menunjukkan bahwa prasasti terakhir di Jawa
Tengah yang ditemukan adalah Wulakan yang berangka 925 Masehi, sedangkan
prasasti pertama yang ditemukan di Jawa Timur adalah Anjukladang (Prasasti
Candi Lor) yang ditemukan pada situs Candi Lor, di Desa Candirejo, empat
kilometer di sebelah selatan Kota Nganjuk. Prasasti Anjukladang berangka tahun
859 Saka (937), dan dibuat oleh Mpu Sindok yang memerintah dari tahun 928 atau
929 sampai 948.
Prasasti ini
merupakan prasasti kemenangan perang Kerajaan Mataram dari serangan tentara
Sriwijaya. Mpu Sindok adalah raja terakhir Dinasti Sanjaya yang memerintah
Kerajaan Mataram dan mendirikan kerajaan di Jawa Timur bernama Medang dengan
ibukota kerajaannya adalah Watugaluh, di tepi Sungai Brantas (dekat Kabupaten
Jombang sekarang).
Prasasti Canggal
lain yang ditemukan berkaitan dengan teori Bemmelen (1949) bahwa Perbukitan
Gendol diasumsikan sebagai longsoran dari Gunung Merapi. Prasasti ini terdapat
di Candi Wukir, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti
Canggal berangka tahun 732 Masehi, yang berarti Perbukitan Gendol telah ada
lebih dari dua setengah abad sebelum tahun 1006.
Bukti lain yang
mendukung adalah ditemukannya keramik dalam endapan vulkanik di sisi baratdaya
Borobudur. Keramik ini berasal dari Dinasti Tang (618-906 M) dan temuan koin
serta pecahan keramik dari Dinasti Song abad ke-10-13 (Miksic,1991).
Bukti Geologi
Berdasarkan data geologi yang ada, baik dari penelitian
sebelumnya atau penelitian yang dilakukan di sini, maka hasil penelitian dapat
disarikan sebagai berikut:
Perbukitan Gendol, yang terletak sekitar 20 km sebelah barat
Merapi dan diperkirakan oleh Bemmelen (1949) sebagai hasil longsoran Gunung
Merapi, memunyai umur jauh lebih tua dari Merapi (sekitar 3,5 juta tahun;
Newhall dkk., 2000), sedangkan batuan tertua dari Merapi berumur 400.000.
Bemmelen (1949) juga menyebutkan bahwa Bukit Gendol terdiri
atas perselingan breksi lahar dan endapan fluviatil tufan. Fragmen vulkaniknya
terdiri atas vitrofi rik augit-hipersten-horenblenda yang serupa dengan Merapi
tua, tetapi berbeda dengan Menoreh karena tidak ada hipersten. Sebaliknya
Newhall (2000) menyanggah bahwa terdapat kesamaan antara batuan dari Gendol dan
Menoreh yang terletak 7 km di sebelah baratnya dengan mineral asosiasi
horenblenda-piroksen andesit. Selain itu batuan dari perbukitan Gendol memunyai
tingkat pelapukan yang sangat tinggi dibanding dengan Merapi.
Sementara itu, Andreastuti (1999) dalam studinya
mengemukakan bahwa asosiasi mineral batuan Merapi tua tersusun atas
horenblenda-piroksen andesit dengan atau tanpa ortopiroksen. Ditinjau dari
karakteristik endapannya, perbukitan Gendol tidak menunjukkan ciri endapan
debris avalanche, yaitu hasil longsoran sektoral gunung api dalam skala besar,
akibat ketidakstabilan gravitasi.
Endapan ini berbentuk sebaran seperti kipas dan endapan
dicirikan oleh morfologi perbukitan di sepanjang jalur longsoran dengan
ketinggian yang semakin berkurang menjauhi sumbernya. Di daerah sekitar Gunung
Merapi endapan debris avalance ditemukan di lereng bagian selatan, yaitu di
Kali Boyong. Namun belum ditemukan di tempat lain. Hasil analisis Karbon
menunjukkan bahwa endapan ini berumur 1130 ± 50 tahun (akhir abad ke-9 atau
awal abad ke-10) (Newhall, 2000). Salah satu ciri endapan debris avalanche
adalah masih ditemukannya struktur asli batuan sebelum longsor (contoh
perlapisan), juga ditemukan struktur jigsaw krack yang merupakan karakteristik
khas endapan tersebut.
0 komentar :
Posting Komentar