Cinta Asya
"Ji, jujur aku nggak bisa lagi
menahan semua perasaan yang meluap-luap ini," ucapku kikuk pada sosok
lelaki kurus semampai yang sedang berdiri kaku di hadapanku.
"Jadi?" tanyanya dengan kikuk pula.
"Aku rasa, kamu sudah tahu tentang isi hati aku. Kalau boleh jujur, kamu itu cinta pertama aku. Kamu bisa membuat aku mengerti cinta yang sebenarnya. Dan...," tiba-tiba kata-kataku dipotong.
"Sya, aku mau minta maaf sebelumnya. Sebenarnya aku," Eji menggantung ucapannya
"Sebenarnya apa Ji?" tanyaku dengan harap-harap cemas. Mataku terus menatapnya, mencari-cari sebuah jawaban lewat mata elangnya itu.
"Se, sebenarnya aku tidak ada rasa sedikitpun sama kamu! Sebaiknya, kamu melupakan saja semua tentang aku! Ada orang lain yang lebih mencintaimu dan dapat membahagiakanmu. Yang jelas orang itu bukan aku," dengan menghembuskan nafas dengan masygul, ia menjawab pertanyaanku tadi sebelum akhirnya ia meninggalkanku. Kurasakan hawa dingin menyergapku ketika mendengarkan ucapannya itu. Haru, kesal, kecewa, sekaligus malu bercampur aduk dalam hatiku. Rasanya aku lah seoran perempuan paling malang dan paling bodoh hari itu. Apa yang kurang dariku, sampai-sampai ia tega menolak cintaku seperti itu?
"Ji," panggilku pelan. Saat itu, garasi belakang sekolah yang bisu lah yang menjadi saksi sejarah hidupku yang paling 'menggenaskan' tersebut.
"Sya, berusahalah untuk melupakan aku! Aku bukan diciptakan untuk mendampingimu!" sahutnya.
Air mataku luruh jatuh satu persatu membasahi pipiku yang putih bersih ketika mendengarkan kata-kata itu. Aku tersedu. Lelaki yang pertamakalinya dapat membuatku jatuh cinta seperti ini, malah mengucapkan kata-kata seperti ini. Cinta pertama yang menyedihkan, pikirku. Saat itu, ingin kurangkai kata-kata menjadi sebuah sajak yang mewakili isi hatiku yang tengah perih ini.
"Aku merunduk sepi
Menatap pelangi kelabuku
Sejak kau pergi meninggalkanku
Hatiku terasa perih tak bertepi"
Kuputuskan untuk pulang saja. Tak baik jika menangis sendirian di areal sekolah yang telah kosong ditinggalkan penghuninya sejak dua jam yang lalu ini.
"Ji, sampai kapan pun, mungkin aku nggak bisa untuk melupakan kamu!" lirihku.
* * *
Sudah dua hari ini Eji tidak masuk sekolah. Aku dengar katanya dia sakit. Dua bulan belakangan ini, dia memang sering absen karena jatuh sakit. Jujur, ketika mendengar berita itu aku merasa khawatir. Tapi, apa peduliku? Selama ini saja belum tentu dia memperdulikan hidupku. Jadi, buat apa aku memikirkannya? Tapi, sekali lagi aku ingin jujur kepada kalian semua. Perasaan cintaku pada Eji benar-benar tidak bisa hilang, walaupun dia hanya memberi harapan kosong kepadaku, dan walaupun dia tidak memilihku untuk memasuki ruang cintanya. Aku benar-benar bingung terhadap perasaanku ini. Di satu sisi aku membencinya dan di sisi lain aku mencintainya. Sejenak aku melamun. Aku mengingat saat-saat pertama aku mengenalnya. Ia sosok yang manis, lembut, dan tampan. Wajahnya oval, matanya bening, hidungnya mancung, bibirnya merah, senyumannya indah, dan kulitnya yang cerah. Bagiku ia adalah mahluk Tuhan yang sangat indah, walaupun kemampuan otaknya di bidang akademik tak secemerlang diriku. Namun, hal itu tak menghalangi rasa kekagumanku padanya. Jujur baru sekarang aku mengenal cinta dan rasa kagum kepada lawan jenis. Padahal di usiaku yang remaja ini, aku telah di'tembak' berulang kali oleh beberapa lelaki tampan. Tapi, mereka semua kutolak cintanya. Alasannya klasik saja, yakni aku tidak mencintai mereka.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengaguminya. Mengagumi keindahan, kelembutan, serta kesopanannya. Dan sedikit demi sedikit aku mulai berani untuk menunjukan isyarat-isyarat cintaku padanya. Walaupun awal mulanya tanggapannya biasa bahkan dingin terhadap isyarat-isyarat tersebut, namun aku pantang menyerah dan tak lekas putus asa. Aku selalu berdoa agar di sedikit saja memperhatikanku. Meski itu kedengarannya konyol, tapi itulah fakta dan realitanya. Dan akhirnya, usaha-usaha serta doa-doa konyolku selama ini terjawab sudah. Eji sedikit demi sedikit dapat menerimaku. SMS-SMS yang sering kukirimkan kepadanya selalu dibalasnya dengan kata-kata yang lembut yang membuatku sedikit gede rasa. Pada akhirnya, terbongkar juga kedokku. Ia tahu mengenai perasaanku selama ini padanya. Dan yang sangat membuatku sebal, ia mengetahui semua itu dari diriku sendiri. Suatu hari, entah angin darimana yang membuatnya meminjam buku catatan matematikaku. Ini tak seperti biasanya. Lelaki seperti Eji mana pernah meminjam buku catatan anak perempuan. Kontan saja aku terkejut ketika dia berkata, "Sya, aku boleh tidak pinjam catatanmu? Soalnya aku tadi nggak sempat nyatat!". Wow, tiada alasan yang dapat membuatku menolak permintaan tersebut. Bagiku inilah kesempatan emas untuk lebih dekat dengannya. Tanpa pikir panjang, kuserahkan buku catatanku padanya. Dan tanpa kusadari, hal itulah yang membuatku celaka 13. Kau tahu, aku adalah wanita dengan sebuah kebiasaan yang buruk. Kebiasaan burukku itu adalah senang menuliskan puisi-puisi cinta serta semua isi hatiku di halaman paling belakang pada buku-buku pelajaranku. Hal itu sering kulakukan ketika aku sedang sumpek belajar di kelas dan untuk menghilangkan sumpek itu aku memilih untuk mencoret-coret halaman belakang buku catatanku yang masih kosong. Tak dapat dipungkiri, Eji pun membaca semua 'aib' yang sangat membuatku malu tersebut.
Seminggu kemudian, ia mengembalikan buku catatan matematikaku yang pekan lalu dipinjamnya. Dengan senyum yang sedikit malu-malu, dia mengulungkan buku tersebut kepadaku. "Sya, thanks ya atas pinjaman bukunya!" ujarnya dengan sedikit malu-malu. Terang saja aku terkejut melihat tingkahnya. Tak seperti biasanya ia bersikap seperti itu kepadaku. Senyum manis yang dikulum, tingkah yang malu-malu kucing, serta perkataannya yang menurutku sangat manis tersebut. Oh God, it's my lucky day! Yang jelas, aku sangat senang dengan semua itu. Aku merasa berbunga-bunga. Kupeluk buku catatan matematikaku tersebut dengan eratnya. Kurasakan sedikit aroma cinta yang mengalir dari buku tak benyawa tersebut. Ah, damai rasanya pada waktu itu.
Namun, sial datang mengepungku. Siang harinya, setalah pulang sekolah tepatnya, aku membuka-buka kembali lembar demi lembar halaman buku catatan matematikaku. Tanpa sengaja, aku menemukan secarik kertas di halaman tengah buku berwarna merah muda tersebut. Kuamati secarik kertas itu dengan seksama. Kubaca isinya yang ditulusi tangan oleh seseorang.
"Asya, maaf ya kemarin aku nggak sengaja baca halaman belakang di buku catatan matematika kamu. Maaf ya!"
Eji
Aku terheran-heran dengan isi yang tertulis di secarik kertas itu.
'Memangnya, apa sih isi di halaman belakang buku catatan matematikaku itu? Mengapa Eji meminta maaf padaku segala?' tanyaku dengan terheran-heran dalam hati.
Dengan penuh tanya di kepalaku, aku segera membuka halaman belakang buku tersebut. Kutelusuri satu persatu apa yang telah kutulis di sana. Tidak ada yang istimewa. Di sana hanya ada sebait puisi yang mengungkapkan rasa kebencianku kepada seorang guru yang mengajar matematika di sekolahku. Apa ini yang membuatnya meminta maaf? Konyol sekali kalau ia meminta maaf hanya karena telah mebaca hal seperti ini. Tapi, tunggu sebentar! Aku menemukan sebuah kalimat yang telah kutulis di halaman belakang buku itu. Kalimat itu berbunyi: 'Eji, andai engkau mengetahui isi hatiku yang sangat mengagumimu ini, mungkinkah engkau akan memberikan sedikit cintamu itu?'
Aku terpaku menatap semua itu. Mataku terbelalak. Semua persendianku terasa kaku. Kurasakan wajahku yang oriental itu mulai memerah. Keringat dingin pun tiba-tiba mengucur melalui pori-pori kulitku, kemudian disusul dengan jantungku yang terus berdegub kencang. Kudekapkan mukaku ke bantal, alangkah malunya aku. Ya Tuhan, bagaimana nasibku besok apabila bertemu dengannya? Pikirku saat itu.
"Hei, Sya! Kok kamu melamun terus sih? Ayo ngaku, kamu lagi melamunin siapa?" Yuta, teman sebangkuku, membangunkanku dari segala lamunan mengenai Eji.
"Mau tahu, aja! Rahasia dong!" ujarku dengan sedikikt senyuman yang centil di bibirku yang tipis.
"Ngelamunin Eji ya?" ucap Yuta dengan mata yang menyelidik. Wajahku langsung berubah masam ketika mendengarkan kata-katanya itu.
"Yut, please jangan sebut-sebut nama dia lagi di depan aku! Oke?"
"Lho, memangnya kenapa? Bukannya dulu kamu senang banget kalau aku nyebut nama dia di depan kamu?"
"Lain dulu, lain sekarang. Dan sekarang, feeling aku ke dia sudah hilang!"
"Secepat itu?"
"Ya, secepat itu! Lagian, buat apa sih kalau aku terus-terusan suka dengan orang yang sama sekali tidak mencintai aku sedikit pun? Tidak ada manfaatnya, bukan?"
"I'm sorry if my words suck you. Well, enjoy your decision," ujar Yuta sembari menepuk pundakku, kemudian diikuti dengan gelengan kepalanya.
'Yuta, maafkan aku karena aku telah membohongimu. Mana mungkin aku bisa secepat itu menghilangkan perasaanku kepada Eji? Sekali lagi, maafkan aku!' lirihku dalam hati sambil menatap gadis berkacamata itu dengan lekatnya.
* * *
Pagi ini terasa syahdu. Kupandangi panorama pagi di luar sana melalui jendela kamarku. Menawan! Satu kata itulah yang dapat melukiskan keadaan alam pagi ini. Langit biru cerah dengan sedikit guratan-guratan cahaya kuning keemasan, ditambah lagi udara pagi yang menyegarkan. Burung-burung kecil pun tak henti-hentinya bernyanyi di atas genteng rumahku. Ah, begitu indahnya Tuhan menciptakan pagi ini! Pikirku dalam hati.
"Pagi-pagi begini, Eji lagi ngapain ya?" secara reflek kuucapkan kata-kata itu.
"Aku ngomong apaan sih?" ujarku sembari mengerutkan kening. "Apa aku masih sayang sama dia? Bodo ah! Aku mau mandi dulu!" aku beranjak dari kamar tidurku dan segera menuju kamar mandi. Kudendangkan bait-bait lagu dengan nada yang ceria sewaktu di dalam kamar mandi. Walau terdengar cempreng, tapi lumayan dapat menghibur suasana hatiku yang galau pasca ditolak mentah-mentah oleh Eji.
Kuayunkan langkahku menuju ruang kelas. Sepi. Begitulah keadaan kelas pada pagi itu. Hanya ada aku dan bangku-bangku kosong tanpa penghuni yang tersusun rapi, yang ada di ruangan berbentuk persegi panjang dengan luas 6x10 m.
"Ehm, umatnya pada kemana ya? Padahal, udah jam setengah tujuh," ucapku pada diriku sendiri.
"Eh, Asya! Baru datang ya?" suara lelaki yang telah familiar di telingaku mengusik keheningan di ruang kelas.
"Iya," jawabku singkat pada Virgo. Lelaki itu tersenyum ke arahku. Ih, jujur aku muak melihatnya. Mengapa? Karena aku sangat tidak suka terhadap lelaki kurus tinggi berhidung bangir dan berwajah kearab-araban, yang telah 'menembakku' sebanyak tiga kali tersebut. Ganteng sih ganteng, tajir sih tajir. Tapi, dia itu tipe lelaki yang banyak omong, senang bolos, dan pemalas. Tak hanya itu, dia juga terlalu agresif dalam mendekati perempuan. Saking agresifnya, dia juga bisa sangat possesif. Padahal, dia bukan siapa-siapaku. Siapa yang suka anak seperti itu?
"Sya, lagi ngapain?" tiba-tiba saja kulihat wajahnya yang kata teman-temanku handsome itu telah beradu pandang di hadapanku.
"Lagi bikin pe er ya?" belum sempat kujawab pertanyaannya, dia sudah mengajukan pertanyaan lain.
"Oh, aku tahu pasti lagi bikin pe er fisika. Benar kan?" aku menarik nafas panjang dan menghembuskannnya dengan hati yang masygul.
"Aku boleh nyontek gak?" rengeknya dengan nada bicara yang childish.
Aku hanya terdiam. Terus kukerjakan satu nomor PR fisika yang belum sempat aku selesaikan di rumah. Maklum, tadi malam otakku ngadat. Jadi, aku rada-rada malas mengerjakannya.
"Sya, yang nomor dua kok jawabannya aneh sih?" Virgo kembali bercuap-cuap. "Ehm, menurut aku, rumusnya bukan begini. Lihat deh di buku catatan kamu! Pasti rumusnya bukan begitu!"
'Ya Tuhan, salah apa aku hari ini sehingga kau buat Virgo duduk di depan bangkuku begini?' batinku sembari sedikit menahan emosiku.
"Sya, kok kamu nggak dengerin aku sih? Apa karena aku bego dan sering dapat nilai E waktu pelajaran fisika kamu jadi nggak ngegubris pendapat aku?" Virgo kembali membuat kesabaranku oleng.
"Sya, dengerin aku dong!"
"Heh, kamu bisa diam nggak? Kalau kamu ngerasa pekerjaan aku salah, ya udah jangan nyontek! Belagu banget sih?" bentakku dengan emosi yang meluap-luap.
"Aduh, pagi-pagi begini sudah ribut. Go, nyontek punya aku aja! Sini!" suara yang sangat kukenal menggema di telingaku. Kutoleh arah suara itu, Eji! Aku hanya dapat tercengang. Kapan dia datang? Apa dia sudah sembuh?
Kutatap dia dengan ekspresi wajah yang sedikit tercengang. Dia balik menatapku dengan seulas senyum bak guratan cahaya sunset yang mewarnai langit petang yang indah. Segera kupalingkan tatapanku darinya. Berani-beraninya ia tersenyum manis kepadaku setelah dia membuatku malu di hadapannya tiga hari yang lalu. Tapi, aku harus berterima kasih padanya. Kalau bukan karenanya, mungkin Virgo masih saja membuatku jengkel.
* * *
Bel panjang telah berbunyi tiga kali, pertanda jam pelajaran kedelapan sudah usai dan sekarang waktunya pulang. Kukemaskan segala alat tulis beserta buku-bukuku yang tergeletak di atas meja, ke dalam ranselku yang berwarna merah muda tersebut. Tak sabar lagi rasanya aku ingin pulang ke rumah dan menikmati segelas teh es buatan mbak Ijah yang sangat nikmat dengan ditemani crackers abon kesukaanku. Ehm, yummy! Bisikku dalam hati.
"Eh, Sya mau nebeng sama aku nggak?" ujar Yuta kepadaku.
"No, thanks! Aku bisa balik sendiri naik angkot!" ujarku mantap.
"Ya udah, nebeng sama aku aja ya?" kali ini Virgo ikut-ikutan.
"Apalagi sama kamu," jawabku dengan singkat, jelas, namun menyakitkan kedengarannya. Kulihat raut muka Virgo yang berubah memerah. Kulihat juga Yuta dan beberapa temanku yang mendengar ucapanku tadi menahan tawa. Aku merasa sedikit bersalah terhadap Virgo. Tapi, ada sedikit rasa puas di dadaku ketika aku menolak mentah tawaran Virgo yang ternyata masih mencintaiku itu, di depan orang ramai. Dasar, lelaki malang! Ujarku dalam hati.
"Sya, tunggu!" panggil seseorang yang berasal dari belakangku yang membuat langkah kakiku tercegat.
Kutoleh ke arah suara dan ketika kulihat si empunya suara tadi, entah mengapa aku merasakan deguban yang hebat dari dalam jantungku. Kucoba setenag-tenangnya menghadapai lelaki satu ini. Jangan sampai aku salah tingkah. Dia kini menatapku tapi aku tak mampu menatapnya. Aku masih merasa malu kepadanya. Ya, lelaki itu Eji dan sekarang ia sedang berada di hadapanku.
Ingin aku mengucapkan kata-kata kepadanya, tapi kerongkonganku rasanya kering dan pita suaraku seperti tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya dengan sopan.
Aku hanya dapat mengangguk pelan. Kurasakan keringat dingin mulai mengucur di dahi, leher, dan telapak tanganku.
'Aduh, dia mau ngomong apa ya?' tanyaku dalam hati.
"Kita ngobrolnya di halaman belakang sekolah saja ya. Soalnya nggak enak kalau di sini!" ujar Eji dengan nada bicara yang lembut. Aku hanya dapat mengikutinya menuju halaman belakang sekolah dengan jantung yang berdebar-debar.
"Ini masalah Virgo." Kata-kata Eji membuatku tercengang. Buat apa membicarakan lelaki bodoh itu.
"Dia kirim salam buat kamu!" ujar Eji dengan kikuknya.
Aku tercengang mendengarkan ucapannya. Ia memanggilku hanya untuk mengatakan hal konyol seperti itu? "Cuma itu?" tanyaku padanya sembari mengepal tangan sekuat tenaga untuk menahan nervous. Kutatap matanya sekilas. Terdapat bulir-bulir keringat sebesar bulir jagung yang menggelayut di dahinya yang luas. Mungkin, dia sama nervous-nya dengan aku.
"Ya, Cuma itu. Asal kamu tahu, Virgo itu sangat mencintaimu. Dan aku dapat jamin kalau kamu pasti akan bahagia bila bersamanya."
"Bagaimana bisa aku bahagia apabila bersama orang tidak aku cintai, bahkan aku sukai?" sanggahku dengan jantung yang makin bedegub kencang.
"Ia memiliki segalanya. Ia tampan, kaya, dan ia terlahir dari kalangan orang terhormat. Bukankah itu bisa membuatmu bahagia?" Eji terus meyakinkanku dengan ucapannya yang mantap walau bibirnya kulihat sekekali bergetar karena gerogi.
"Aku bukan tipikal wanita seperti yang kau maksud. Bisa bahagia karena mencintai seseorang seperti Virgo yang kau bilang punya segalanya itu!" kataku dengan lantangnya. Kali ini kukumpulkan semua energi yang tersisa untuk mengatakan kata-kata itu kepada Eji. Aku terlanjur emosi dengan perkataan Eji tadi. Suasana di antara kami makin dingin. Halaman belakang sekolah lah yang menjadi menjadi saksi betapa dinginnya suasana siang itu.
"Maafkan aku, Sya!" pinta Eji dengan suara yang lirih sembari menundukan wajahnya.
"......" aku terdiam seribu bahasa utnuk menahan emosiku. Aku mencoba untuk menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan masygul.
"Sya, percayalah padaku bahwa kau akan bahagia apabila bersama Virgo."
"Kenapa kamu begitu memaksaku, Ji? Aku sudah bilang berapa kali kalau aku bukan," kata-kataku kembali dipotong.
"Tapi aku ingin yang terbaik untukmu, Sya!" tegas Eji sembari menatapku lekat.
"Yang terbaik untukku adalah dapat bersamamu, Ji!" hatiku mulai melapuk. Mataku pun tak sanggup menahan desakan air mata. "Bisakah kau sedikit mengerti aku?" lirihku sembari menyeka air mata.
"Sya, maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku. Aku mencintaimu, Sya! Sungguh! Tapi aku tak bisa bersamamu." Deg, aku tercengang mendengarkan itu. Bahagia campur haru tercampur aduk menggoncang perasaanku.
"Kamu bohong Ji! Kamu bohong. Kalau kamu mencintaiku, kenapa kamu menolakku dua hari yang lalu? Lalu, kenapa dua hari yang lalu kamu bilang tidak mencintaiku? Kamu pasti bohong! Tolong jangan membuatku berharap!" Kupandangi Eji dengan sorotan mata yangtajam, seolah-olah aku ingin menelannya. Dia hanya dapat menundukan pandangannya.
"Iya, Sya! Aku telah berbohong padamu. Namun bukan hari ini aku berbohong. Tapi kemarin. Kamu nggak ngerti keadaan batinku saat itu, Sya!"
"Keadaan batinmu? Ji, katakan apa yang terjadi denganmu? Dan tolong jelaskan kepadaku mengapa kamu tidak bisa bersamaku?" tanyaku dengan nada yang sedikit memaksa, seakan-akan aku adalah seorang polisi yang sedang menginterogasi seorang pencuri ayam; dan pencuri ayam itu adalah Eji.
"Virgo adalah malaikat kecilku. Begitu pula dengan kamu, Sya. Aku menyayangi kalian berdua. Virgo adalah seorang sahabat yang sangat berjasa dalam hidupku. Perlu kau ketahui, aku adalah seorang yatim piatu. Aku tak yakin bahwa aku adalah yatim piatu. Lebih tepatnya, aku tak tahu menahu tentang asal-usulku. Tujuh belas tahun yang lalu, aku ditemukan seorang nenek di gerbong kereta api. Nenek itu bernama nek Asnah. Dia yang telah membesarkanku hingga saat ini." Aku tekejut bukan main ketika mendengarkan cerita dari Eji itu. Kisah hidup lelaki yang berpenampilan sederhana namun tetap menawan ini sangat di luar dugaanku. "Nek Asnah adalah seorang wanita paling tegar di dunia ini dan aku sangat mencintainya. Siang dan malam ia membanting tulang untukku. Untuk seorang anak lelaki yang sama sekali tak memiliki hubungan darah dengannya," sambung Eji dengan suara yang bergetar. Mata bintang Eji mulai memerah. Kulihat ada kumpulan kristal bening di sudut pelupuk matanya. "Pagi hari ia habiskan di rumah Virgo untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Sore harinya ia kembali memulung barang bekas yang bisa ia jual untuk di daur ulang di sekitar stasiun kereta api. Di sini letak kemalaikatan Virgo. Ia lah yang selama ini banyak meringankan beban keluarga kami. Ia juga lah yang diam-diam menyisihkan uang jajannya demi membantuku membayar uang sekolah. Ia juga lah seorang sahabat yang sangat mengertiku, walaupun 'duniaku' berbeda dengan 'dunianya'. Selain Virgo, kau juga malaikat kecilku, Sya!" Eji menatapku ketika ia berkata bahwa aku adalah malaikat kecilnya. Betapa tersipunya aku. Kurasakan pipiku mulai merona dan senyum tipisku mengembang. "Kau adalah malaikat kecilku karena kau lah yang menyejukkan hari-hariku selama ini. Kau menarik, baik, lembut, cerdas, anggun, dan menawan, walaupun kau sedikit terlihat ceroboh." Aku hanya merasa bahagia campur malu ketika Eji memuji serta 'mencelaku' tersebut. "Diam-diam aku jatuh cinta karena kelebihan-kelebihan yang kau miliki itu. aku jatuh cinta tepatnya pada kebaikan dan ketulusanmu. Terkadang engkau rela membantuku walaupun bantuan itu terlihat kecil, seperti meminjamkan buku catatanmu atau sekedar memberiku cookies ketika jam istirahat tiba. Tak hanya itu, aku juga jatuh cinta pada keramahanmu kepadaku. Engkau selalu tersenyum dan berkata lembut kepadaku. Namun maaf Sya, aku tak bisa membalas semua itu." Eji menunduk menatap tanah dengan ekspresi wajah yang tampak kecewa.
"Balaslah itu dengan mencintaiku, Ji!" ucapku lirih.
"Tidak. Semua itu tidak bisa aku lakukan. Virgo terlalu mencintaimu. Bagaimana mungkin aku bisa mengkhianati seorang 'malaikat' kecil itu? Lagipula, dia pantas bersamamu. Dia mampu menyepadani engkau, Sya! Tidak seperti diriku yang terlalu rendah untuk bersamamu ini. Aku ingin yang terbaik untukmu. Dan kurasa ini lah yang terbaik untukmu, bersama Virgo dan segera melupakanku!" Eji berkata dengan mimik wajah yang pasrah. Kulihat sosok tinggi kurus itu. Dia adalah makhluk Tuhan yang indah. Hidungnya bangir, matanya tajam, bibirnya merah, wajahnya tirus, kulitnya putih, dan rambutnya yang hitam dan lebat itu. Sungguh, dulu aku hanya mencintai dan menilainya karena fisik saja. Namun kini, kecintaanku padanya lebih karena jiwanya yang rela berkorban demi seorang yang telah berjasa dalam hidupnya itu. Jiwa yang menginginkan orang yang dicintainya bahagia dengan orang lain yang dianggapnya lebih sempurna ketimbang dirinya. Namun, aku sungguh tak bisa menjalani keinginan jiwamu yang terakhir itu, Ji! Aku tak bisa bersama Virgo yang jelas-jelas tak kucintai itu.
"Lakukan demi aku, Sya! Apabila kamu tidak bisa menerima cinta Virgo, setidaknya lupakanlah aku. Masa depanmu bisa-bisa suram bila kau terus mencintaiku!" pinta Eji dengan mata yang berbinar. Oh, Eji, mana bisa aku melaksanakan pintamu itu. "Aku tahu, itu terlalu sulit untukmu. Tapi begitupula dengan aku, aku juga terlalu sulit untuk melepasmu dan berusaha melupakanmu. Tapi, inilah yang terbaik untuk kita! " sambungnya lagi dengan tatapan mata yang masih tajam kepadaku.
"Ehem, ehem! Kalian lagi ngomongin aku, ya?" terdengar suara seorang lelaki yang membuat kami berdua terkejut. Betapa terkejutnya aku ketika melihat si empunya suara. Begitu pula dengan Eji.
"Virgo?" alangkah terkejutnya kami berdua ketika mendapati Virgo berdi tegap di hadapan kami. Ia menepuk-nepuk pundak Eji dan mengulas senyum pada kami.
"Ka, kapan kamu ke sini?" tanya Eji dengan terbata-bata.
"Nggak sadar ya kalau dari tadi aku ngikutin kalian? Hey, Ji kok kamu tidak pernah cerita tentang perasaan kamu ke Asya sih?"kata-kata Virgo membuat Eji sedikit kikuk, salah tingkah, dan malu. Semua itu terlihat dari mimik wajah dan bahasa tubuhnya. "Ji, kamu nggak perlu segitunya sama aku. Lagian Asya juga suka sama kamu. Jadi, apa salahnya kalau kalian bersatu? Nggak usah mikirin aku segala. Aku juga udah ilfeel sama Asya! He he he! I'm just kidding, friends!" Virgo masih saja mengeluarkan kelakarnya saat suasana setegang ini. Hei, coba dengarkan kata-kata si banyak omong ini! Kata-katanya terdengar wise dan dewasa. 'Salah makan obat apa ya, Virgo hari ini?' tanyaku dalam hati.
"Kalian kok pada bengong seperti ini sih? Hati-hati lo kalau bengong! Apalagi di tempat sesepi ini!" Virgo kembali berkelakar. Kami berdua hanya dapat tersenyum tipis mendengarkan itu.
"Go, maaf ya kalau selama ini aku kasar sama kamu. Walaupun aku nggak cinta sama kamu, tapi mungkin aku nggak seharusnya berlaku dingin dan kasar sama kamu. Sekali lagi maaf ya!" pintaku dengan penuh harap.
"Permintaan maafmu kutolak! Aku terlanjur sakit hati!" ujar Virgo dengan dinginnya.
"Go, kok kamu gitu sih?" Aku hampir saja mewek.
"Eh, aku bercanda! Iya, aku maafin. So, gimana kelanjutan hubungan kalian berdua? Mumpung aku ngasih restu nih!"
Aku dan Eji saling berpandangan ketika mendengarkan ucapan Virgo.
"Kita sahabatan aja. Nggak apa-apa kan Ji?" ucapku dengan mantapnya. Keputusan itu kedengarannya bodoh untuk orang yang sedang dimabuk cinta. Tapi, aku mempunyai alasan tersendiri mengapa aku lebih memilih persahabatan daripada pacaran dengan Eji.
Kulihat Eji tercengang mendengarkan kata-kataku. Begitupula dengan Virgo.
"Lho, kok?" tanya Virgo heran.
"Nilai persahabatan itu kayanya lebih mulia daripada nilai pacaran. Persahabatan juga penuh dengan cinta dan kasih sayang daripada pacaran. Lihat saja si Eji, sampai rela mengorbankan perasaannya demi persahabatannya dengan kamu!" kukemukakan alasanku dengan senyum yang bertebaran. Eji dan Virgo saling beradu pandang dan mereka kompak tersenyum.
"Eh, keliatannya ending cerita kita ini bagus juga ya! He he he!" seloroh Virgo lagi. Kami bertiga tertawa bersama pada siang itu. Aku tak menyangka jika ending cerita cinta pertamaku ini berakhir seperti ini. Yang jelas, aku sangat bahagia karena hari ini aku mendapatkan dua orang sahabat sekaligus, meskipun aku masih menaruh cinta untuk Eji yang kini hádala sahabatku. That's All..
"Jadi?" tanyanya dengan kikuk pula.
"Aku rasa, kamu sudah tahu tentang isi hati aku. Kalau boleh jujur, kamu itu cinta pertama aku. Kamu bisa membuat aku mengerti cinta yang sebenarnya. Dan...," tiba-tiba kata-kataku dipotong.
"Sya, aku mau minta maaf sebelumnya. Sebenarnya aku," Eji menggantung ucapannya
"Sebenarnya apa Ji?" tanyaku dengan harap-harap cemas. Mataku terus menatapnya, mencari-cari sebuah jawaban lewat mata elangnya itu.
"Se, sebenarnya aku tidak ada rasa sedikitpun sama kamu! Sebaiknya, kamu melupakan saja semua tentang aku! Ada orang lain yang lebih mencintaimu dan dapat membahagiakanmu. Yang jelas orang itu bukan aku," dengan menghembuskan nafas dengan masygul, ia menjawab pertanyaanku tadi sebelum akhirnya ia meninggalkanku. Kurasakan hawa dingin menyergapku ketika mendengarkan ucapannya itu. Haru, kesal, kecewa, sekaligus malu bercampur aduk dalam hatiku. Rasanya aku lah seoran perempuan paling malang dan paling bodoh hari itu. Apa yang kurang dariku, sampai-sampai ia tega menolak cintaku seperti itu?
"Ji," panggilku pelan. Saat itu, garasi belakang sekolah yang bisu lah yang menjadi saksi sejarah hidupku yang paling 'menggenaskan' tersebut.
"Sya, berusahalah untuk melupakan aku! Aku bukan diciptakan untuk mendampingimu!" sahutnya.
Air mataku luruh jatuh satu persatu membasahi pipiku yang putih bersih ketika mendengarkan kata-kata itu. Aku tersedu. Lelaki yang pertamakalinya dapat membuatku jatuh cinta seperti ini, malah mengucapkan kata-kata seperti ini. Cinta pertama yang menyedihkan, pikirku. Saat itu, ingin kurangkai kata-kata menjadi sebuah sajak yang mewakili isi hatiku yang tengah perih ini.
"Aku merunduk sepi
Menatap pelangi kelabuku
Sejak kau pergi meninggalkanku
Hatiku terasa perih tak bertepi"
Kuputuskan untuk pulang saja. Tak baik jika menangis sendirian di areal sekolah yang telah kosong ditinggalkan penghuninya sejak dua jam yang lalu ini.
"Ji, sampai kapan pun, mungkin aku nggak bisa untuk melupakan kamu!" lirihku.
* * *
Sudah dua hari ini Eji tidak masuk sekolah. Aku dengar katanya dia sakit. Dua bulan belakangan ini, dia memang sering absen karena jatuh sakit. Jujur, ketika mendengar berita itu aku merasa khawatir. Tapi, apa peduliku? Selama ini saja belum tentu dia memperdulikan hidupku. Jadi, buat apa aku memikirkannya? Tapi, sekali lagi aku ingin jujur kepada kalian semua. Perasaan cintaku pada Eji benar-benar tidak bisa hilang, walaupun dia hanya memberi harapan kosong kepadaku, dan walaupun dia tidak memilihku untuk memasuki ruang cintanya. Aku benar-benar bingung terhadap perasaanku ini. Di satu sisi aku membencinya dan di sisi lain aku mencintainya. Sejenak aku melamun. Aku mengingat saat-saat pertama aku mengenalnya. Ia sosok yang manis, lembut, dan tampan. Wajahnya oval, matanya bening, hidungnya mancung, bibirnya merah, senyumannya indah, dan kulitnya yang cerah. Bagiku ia adalah mahluk Tuhan yang sangat indah, walaupun kemampuan otaknya di bidang akademik tak secemerlang diriku. Namun, hal itu tak menghalangi rasa kekagumanku padanya. Jujur baru sekarang aku mengenal cinta dan rasa kagum kepada lawan jenis. Padahal di usiaku yang remaja ini, aku telah di'tembak' berulang kali oleh beberapa lelaki tampan. Tapi, mereka semua kutolak cintanya. Alasannya klasik saja, yakni aku tidak mencintai mereka.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengaguminya. Mengagumi keindahan, kelembutan, serta kesopanannya. Dan sedikit demi sedikit aku mulai berani untuk menunjukan isyarat-isyarat cintaku padanya. Walaupun awal mulanya tanggapannya biasa bahkan dingin terhadap isyarat-isyarat tersebut, namun aku pantang menyerah dan tak lekas putus asa. Aku selalu berdoa agar di sedikit saja memperhatikanku. Meski itu kedengarannya konyol, tapi itulah fakta dan realitanya. Dan akhirnya, usaha-usaha serta doa-doa konyolku selama ini terjawab sudah. Eji sedikit demi sedikit dapat menerimaku. SMS-SMS yang sering kukirimkan kepadanya selalu dibalasnya dengan kata-kata yang lembut yang membuatku sedikit gede rasa. Pada akhirnya, terbongkar juga kedokku. Ia tahu mengenai perasaanku selama ini padanya. Dan yang sangat membuatku sebal, ia mengetahui semua itu dari diriku sendiri. Suatu hari, entah angin darimana yang membuatnya meminjam buku catatan matematikaku. Ini tak seperti biasanya. Lelaki seperti Eji mana pernah meminjam buku catatan anak perempuan. Kontan saja aku terkejut ketika dia berkata, "Sya, aku boleh tidak pinjam catatanmu? Soalnya aku tadi nggak sempat nyatat!". Wow, tiada alasan yang dapat membuatku menolak permintaan tersebut. Bagiku inilah kesempatan emas untuk lebih dekat dengannya. Tanpa pikir panjang, kuserahkan buku catatanku padanya. Dan tanpa kusadari, hal itulah yang membuatku celaka 13. Kau tahu, aku adalah wanita dengan sebuah kebiasaan yang buruk. Kebiasaan burukku itu adalah senang menuliskan puisi-puisi cinta serta semua isi hatiku di halaman paling belakang pada buku-buku pelajaranku. Hal itu sering kulakukan ketika aku sedang sumpek belajar di kelas dan untuk menghilangkan sumpek itu aku memilih untuk mencoret-coret halaman belakang buku catatanku yang masih kosong. Tak dapat dipungkiri, Eji pun membaca semua 'aib' yang sangat membuatku malu tersebut.
Seminggu kemudian, ia mengembalikan buku catatan matematikaku yang pekan lalu dipinjamnya. Dengan senyum yang sedikit malu-malu, dia mengulungkan buku tersebut kepadaku. "Sya, thanks ya atas pinjaman bukunya!" ujarnya dengan sedikit malu-malu. Terang saja aku terkejut melihat tingkahnya. Tak seperti biasanya ia bersikap seperti itu kepadaku. Senyum manis yang dikulum, tingkah yang malu-malu kucing, serta perkataannya yang menurutku sangat manis tersebut. Oh God, it's my lucky day! Yang jelas, aku sangat senang dengan semua itu. Aku merasa berbunga-bunga. Kupeluk buku catatan matematikaku tersebut dengan eratnya. Kurasakan sedikit aroma cinta yang mengalir dari buku tak benyawa tersebut. Ah, damai rasanya pada waktu itu.
Namun, sial datang mengepungku. Siang harinya, setalah pulang sekolah tepatnya, aku membuka-buka kembali lembar demi lembar halaman buku catatan matematikaku. Tanpa sengaja, aku menemukan secarik kertas di halaman tengah buku berwarna merah muda tersebut. Kuamati secarik kertas itu dengan seksama. Kubaca isinya yang ditulusi tangan oleh seseorang.
"Asya, maaf ya kemarin aku nggak sengaja baca halaman belakang di buku catatan matematika kamu. Maaf ya!"
Eji
Aku terheran-heran dengan isi yang tertulis di secarik kertas itu.
'Memangnya, apa sih isi di halaman belakang buku catatan matematikaku itu? Mengapa Eji meminta maaf padaku segala?' tanyaku dengan terheran-heran dalam hati.
Dengan penuh tanya di kepalaku, aku segera membuka halaman belakang buku tersebut. Kutelusuri satu persatu apa yang telah kutulis di sana. Tidak ada yang istimewa. Di sana hanya ada sebait puisi yang mengungkapkan rasa kebencianku kepada seorang guru yang mengajar matematika di sekolahku. Apa ini yang membuatnya meminta maaf? Konyol sekali kalau ia meminta maaf hanya karena telah mebaca hal seperti ini. Tapi, tunggu sebentar! Aku menemukan sebuah kalimat yang telah kutulis di halaman belakang buku itu. Kalimat itu berbunyi: 'Eji, andai engkau mengetahui isi hatiku yang sangat mengagumimu ini, mungkinkah engkau akan memberikan sedikit cintamu itu?'
Aku terpaku menatap semua itu. Mataku terbelalak. Semua persendianku terasa kaku. Kurasakan wajahku yang oriental itu mulai memerah. Keringat dingin pun tiba-tiba mengucur melalui pori-pori kulitku, kemudian disusul dengan jantungku yang terus berdegub kencang. Kudekapkan mukaku ke bantal, alangkah malunya aku. Ya Tuhan, bagaimana nasibku besok apabila bertemu dengannya? Pikirku saat itu.
"Hei, Sya! Kok kamu melamun terus sih? Ayo ngaku, kamu lagi melamunin siapa?" Yuta, teman sebangkuku, membangunkanku dari segala lamunan mengenai Eji.
"Mau tahu, aja! Rahasia dong!" ujarku dengan sedikikt senyuman yang centil di bibirku yang tipis.
"Ngelamunin Eji ya?" ucap Yuta dengan mata yang menyelidik. Wajahku langsung berubah masam ketika mendengarkan kata-katanya itu.
"Yut, please jangan sebut-sebut nama dia lagi di depan aku! Oke?"
"Lho, memangnya kenapa? Bukannya dulu kamu senang banget kalau aku nyebut nama dia di depan kamu?"
"Lain dulu, lain sekarang. Dan sekarang, feeling aku ke dia sudah hilang!"
"Secepat itu?"
"Ya, secepat itu! Lagian, buat apa sih kalau aku terus-terusan suka dengan orang yang sama sekali tidak mencintai aku sedikit pun? Tidak ada manfaatnya, bukan?"
"I'm sorry if my words suck you. Well, enjoy your decision," ujar Yuta sembari menepuk pundakku, kemudian diikuti dengan gelengan kepalanya.
'Yuta, maafkan aku karena aku telah membohongimu. Mana mungkin aku bisa secepat itu menghilangkan perasaanku kepada Eji? Sekali lagi, maafkan aku!' lirihku dalam hati sambil menatap gadis berkacamata itu dengan lekatnya.
* * *
Pagi ini terasa syahdu. Kupandangi panorama pagi di luar sana melalui jendela kamarku. Menawan! Satu kata itulah yang dapat melukiskan keadaan alam pagi ini. Langit biru cerah dengan sedikit guratan-guratan cahaya kuning keemasan, ditambah lagi udara pagi yang menyegarkan. Burung-burung kecil pun tak henti-hentinya bernyanyi di atas genteng rumahku. Ah, begitu indahnya Tuhan menciptakan pagi ini! Pikirku dalam hati.
"Pagi-pagi begini, Eji lagi ngapain ya?" secara reflek kuucapkan kata-kata itu.
"Aku ngomong apaan sih?" ujarku sembari mengerutkan kening. "Apa aku masih sayang sama dia? Bodo ah! Aku mau mandi dulu!" aku beranjak dari kamar tidurku dan segera menuju kamar mandi. Kudendangkan bait-bait lagu dengan nada yang ceria sewaktu di dalam kamar mandi. Walau terdengar cempreng, tapi lumayan dapat menghibur suasana hatiku yang galau pasca ditolak mentah-mentah oleh Eji.
Kuayunkan langkahku menuju ruang kelas. Sepi. Begitulah keadaan kelas pada pagi itu. Hanya ada aku dan bangku-bangku kosong tanpa penghuni yang tersusun rapi, yang ada di ruangan berbentuk persegi panjang dengan luas 6x10 m.
"Ehm, umatnya pada kemana ya? Padahal, udah jam setengah tujuh," ucapku pada diriku sendiri.
"Eh, Asya! Baru datang ya?" suara lelaki yang telah familiar di telingaku mengusik keheningan di ruang kelas.
"Iya," jawabku singkat pada Virgo. Lelaki itu tersenyum ke arahku. Ih, jujur aku muak melihatnya. Mengapa? Karena aku sangat tidak suka terhadap lelaki kurus tinggi berhidung bangir dan berwajah kearab-araban, yang telah 'menembakku' sebanyak tiga kali tersebut. Ganteng sih ganteng, tajir sih tajir. Tapi, dia itu tipe lelaki yang banyak omong, senang bolos, dan pemalas. Tak hanya itu, dia juga terlalu agresif dalam mendekati perempuan. Saking agresifnya, dia juga bisa sangat possesif. Padahal, dia bukan siapa-siapaku. Siapa yang suka anak seperti itu?
"Sya, lagi ngapain?" tiba-tiba saja kulihat wajahnya yang kata teman-temanku handsome itu telah beradu pandang di hadapanku.
"Lagi bikin pe er ya?" belum sempat kujawab pertanyaannya, dia sudah mengajukan pertanyaan lain.
"Oh, aku tahu pasti lagi bikin pe er fisika. Benar kan?" aku menarik nafas panjang dan menghembuskannnya dengan hati yang masygul.
"Aku boleh nyontek gak?" rengeknya dengan nada bicara yang childish.
Aku hanya terdiam. Terus kukerjakan satu nomor PR fisika yang belum sempat aku selesaikan di rumah. Maklum, tadi malam otakku ngadat. Jadi, aku rada-rada malas mengerjakannya.
"Sya, yang nomor dua kok jawabannya aneh sih?" Virgo kembali bercuap-cuap. "Ehm, menurut aku, rumusnya bukan begini. Lihat deh di buku catatan kamu! Pasti rumusnya bukan begitu!"
'Ya Tuhan, salah apa aku hari ini sehingga kau buat Virgo duduk di depan bangkuku begini?' batinku sembari sedikit menahan emosiku.
"Sya, kok kamu nggak dengerin aku sih? Apa karena aku bego dan sering dapat nilai E waktu pelajaran fisika kamu jadi nggak ngegubris pendapat aku?" Virgo kembali membuat kesabaranku oleng.
"Sya, dengerin aku dong!"
"Heh, kamu bisa diam nggak? Kalau kamu ngerasa pekerjaan aku salah, ya udah jangan nyontek! Belagu banget sih?" bentakku dengan emosi yang meluap-luap.
"Aduh, pagi-pagi begini sudah ribut. Go, nyontek punya aku aja! Sini!" suara yang sangat kukenal menggema di telingaku. Kutoleh arah suara itu, Eji! Aku hanya dapat tercengang. Kapan dia datang? Apa dia sudah sembuh?
Kutatap dia dengan ekspresi wajah yang sedikit tercengang. Dia balik menatapku dengan seulas senyum bak guratan cahaya sunset yang mewarnai langit petang yang indah. Segera kupalingkan tatapanku darinya. Berani-beraninya ia tersenyum manis kepadaku setelah dia membuatku malu di hadapannya tiga hari yang lalu. Tapi, aku harus berterima kasih padanya. Kalau bukan karenanya, mungkin Virgo masih saja membuatku jengkel.
* * *
Bel panjang telah berbunyi tiga kali, pertanda jam pelajaran kedelapan sudah usai dan sekarang waktunya pulang. Kukemaskan segala alat tulis beserta buku-bukuku yang tergeletak di atas meja, ke dalam ranselku yang berwarna merah muda tersebut. Tak sabar lagi rasanya aku ingin pulang ke rumah dan menikmati segelas teh es buatan mbak Ijah yang sangat nikmat dengan ditemani crackers abon kesukaanku. Ehm, yummy! Bisikku dalam hati.
"Eh, Sya mau nebeng sama aku nggak?" ujar Yuta kepadaku.
"No, thanks! Aku bisa balik sendiri naik angkot!" ujarku mantap.
"Ya udah, nebeng sama aku aja ya?" kali ini Virgo ikut-ikutan.
"Apalagi sama kamu," jawabku dengan singkat, jelas, namun menyakitkan kedengarannya. Kulihat raut muka Virgo yang berubah memerah. Kulihat juga Yuta dan beberapa temanku yang mendengar ucapanku tadi menahan tawa. Aku merasa sedikit bersalah terhadap Virgo. Tapi, ada sedikit rasa puas di dadaku ketika aku menolak mentah tawaran Virgo yang ternyata masih mencintaiku itu, di depan orang ramai. Dasar, lelaki malang! Ujarku dalam hati.
"Sya, tunggu!" panggil seseorang yang berasal dari belakangku yang membuat langkah kakiku tercegat.
Kutoleh ke arah suara dan ketika kulihat si empunya suara tadi, entah mengapa aku merasakan deguban yang hebat dari dalam jantungku. Kucoba setenag-tenangnya menghadapai lelaki satu ini. Jangan sampai aku salah tingkah. Dia kini menatapku tapi aku tak mampu menatapnya. Aku masih merasa malu kepadanya. Ya, lelaki itu Eji dan sekarang ia sedang berada di hadapanku.
Ingin aku mengucapkan kata-kata kepadanya, tapi kerongkonganku rasanya kering dan pita suaraku seperti tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya dengan sopan.
Aku hanya dapat mengangguk pelan. Kurasakan keringat dingin mulai mengucur di dahi, leher, dan telapak tanganku.
'Aduh, dia mau ngomong apa ya?' tanyaku dalam hati.
"Kita ngobrolnya di halaman belakang sekolah saja ya. Soalnya nggak enak kalau di sini!" ujar Eji dengan nada bicara yang lembut. Aku hanya dapat mengikutinya menuju halaman belakang sekolah dengan jantung yang berdebar-debar.
"Ini masalah Virgo." Kata-kata Eji membuatku tercengang. Buat apa membicarakan lelaki bodoh itu.
"Dia kirim salam buat kamu!" ujar Eji dengan kikuknya.
Aku tercengang mendengarkan ucapannya. Ia memanggilku hanya untuk mengatakan hal konyol seperti itu? "Cuma itu?" tanyaku padanya sembari mengepal tangan sekuat tenaga untuk menahan nervous. Kutatap matanya sekilas. Terdapat bulir-bulir keringat sebesar bulir jagung yang menggelayut di dahinya yang luas. Mungkin, dia sama nervous-nya dengan aku.
"Ya, Cuma itu. Asal kamu tahu, Virgo itu sangat mencintaimu. Dan aku dapat jamin kalau kamu pasti akan bahagia bila bersamanya."
"Bagaimana bisa aku bahagia apabila bersama orang tidak aku cintai, bahkan aku sukai?" sanggahku dengan jantung yang makin bedegub kencang.
"Ia memiliki segalanya. Ia tampan, kaya, dan ia terlahir dari kalangan orang terhormat. Bukankah itu bisa membuatmu bahagia?" Eji terus meyakinkanku dengan ucapannya yang mantap walau bibirnya kulihat sekekali bergetar karena gerogi.
"Aku bukan tipikal wanita seperti yang kau maksud. Bisa bahagia karena mencintai seseorang seperti Virgo yang kau bilang punya segalanya itu!" kataku dengan lantangnya. Kali ini kukumpulkan semua energi yang tersisa untuk mengatakan kata-kata itu kepada Eji. Aku terlanjur emosi dengan perkataan Eji tadi. Suasana di antara kami makin dingin. Halaman belakang sekolah lah yang menjadi menjadi saksi betapa dinginnya suasana siang itu.
"Maafkan aku, Sya!" pinta Eji dengan suara yang lirih sembari menundukan wajahnya.
"......" aku terdiam seribu bahasa utnuk menahan emosiku. Aku mencoba untuk menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan masygul.
"Sya, percayalah padaku bahwa kau akan bahagia apabila bersama Virgo."
"Kenapa kamu begitu memaksaku, Ji? Aku sudah bilang berapa kali kalau aku bukan," kata-kataku kembali dipotong.
"Tapi aku ingin yang terbaik untukmu, Sya!" tegas Eji sembari menatapku lekat.
"Yang terbaik untukku adalah dapat bersamamu, Ji!" hatiku mulai melapuk. Mataku pun tak sanggup menahan desakan air mata. "Bisakah kau sedikit mengerti aku?" lirihku sembari menyeka air mata.
"Sya, maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku. Aku mencintaimu, Sya! Sungguh! Tapi aku tak bisa bersamamu." Deg, aku tercengang mendengarkan itu. Bahagia campur haru tercampur aduk menggoncang perasaanku.
"Kamu bohong Ji! Kamu bohong. Kalau kamu mencintaiku, kenapa kamu menolakku dua hari yang lalu? Lalu, kenapa dua hari yang lalu kamu bilang tidak mencintaiku? Kamu pasti bohong! Tolong jangan membuatku berharap!" Kupandangi Eji dengan sorotan mata yangtajam, seolah-olah aku ingin menelannya. Dia hanya dapat menundukan pandangannya.
"Iya, Sya! Aku telah berbohong padamu. Namun bukan hari ini aku berbohong. Tapi kemarin. Kamu nggak ngerti keadaan batinku saat itu, Sya!"
"Keadaan batinmu? Ji, katakan apa yang terjadi denganmu? Dan tolong jelaskan kepadaku mengapa kamu tidak bisa bersamaku?" tanyaku dengan nada yang sedikit memaksa, seakan-akan aku adalah seorang polisi yang sedang menginterogasi seorang pencuri ayam; dan pencuri ayam itu adalah Eji.
"Virgo adalah malaikat kecilku. Begitu pula dengan kamu, Sya. Aku menyayangi kalian berdua. Virgo adalah seorang sahabat yang sangat berjasa dalam hidupku. Perlu kau ketahui, aku adalah seorang yatim piatu. Aku tak yakin bahwa aku adalah yatim piatu. Lebih tepatnya, aku tak tahu menahu tentang asal-usulku. Tujuh belas tahun yang lalu, aku ditemukan seorang nenek di gerbong kereta api. Nenek itu bernama nek Asnah. Dia yang telah membesarkanku hingga saat ini." Aku tekejut bukan main ketika mendengarkan cerita dari Eji itu. Kisah hidup lelaki yang berpenampilan sederhana namun tetap menawan ini sangat di luar dugaanku. "Nek Asnah adalah seorang wanita paling tegar di dunia ini dan aku sangat mencintainya. Siang dan malam ia membanting tulang untukku. Untuk seorang anak lelaki yang sama sekali tak memiliki hubungan darah dengannya," sambung Eji dengan suara yang bergetar. Mata bintang Eji mulai memerah. Kulihat ada kumpulan kristal bening di sudut pelupuk matanya. "Pagi hari ia habiskan di rumah Virgo untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Sore harinya ia kembali memulung barang bekas yang bisa ia jual untuk di daur ulang di sekitar stasiun kereta api. Di sini letak kemalaikatan Virgo. Ia lah yang selama ini banyak meringankan beban keluarga kami. Ia juga lah yang diam-diam menyisihkan uang jajannya demi membantuku membayar uang sekolah. Ia juga lah seorang sahabat yang sangat mengertiku, walaupun 'duniaku' berbeda dengan 'dunianya'. Selain Virgo, kau juga malaikat kecilku, Sya!" Eji menatapku ketika ia berkata bahwa aku adalah malaikat kecilnya. Betapa tersipunya aku. Kurasakan pipiku mulai merona dan senyum tipisku mengembang. "Kau adalah malaikat kecilku karena kau lah yang menyejukkan hari-hariku selama ini. Kau menarik, baik, lembut, cerdas, anggun, dan menawan, walaupun kau sedikit terlihat ceroboh." Aku hanya merasa bahagia campur malu ketika Eji memuji serta 'mencelaku' tersebut. "Diam-diam aku jatuh cinta karena kelebihan-kelebihan yang kau miliki itu. aku jatuh cinta tepatnya pada kebaikan dan ketulusanmu. Terkadang engkau rela membantuku walaupun bantuan itu terlihat kecil, seperti meminjamkan buku catatanmu atau sekedar memberiku cookies ketika jam istirahat tiba. Tak hanya itu, aku juga jatuh cinta pada keramahanmu kepadaku. Engkau selalu tersenyum dan berkata lembut kepadaku. Namun maaf Sya, aku tak bisa membalas semua itu." Eji menunduk menatap tanah dengan ekspresi wajah yang tampak kecewa.
"Balaslah itu dengan mencintaiku, Ji!" ucapku lirih.
"Tidak. Semua itu tidak bisa aku lakukan. Virgo terlalu mencintaimu. Bagaimana mungkin aku bisa mengkhianati seorang 'malaikat' kecil itu? Lagipula, dia pantas bersamamu. Dia mampu menyepadani engkau, Sya! Tidak seperti diriku yang terlalu rendah untuk bersamamu ini. Aku ingin yang terbaik untukmu. Dan kurasa ini lah yang terbaik untukmu, bersama Virgo dan segera melupakanku!" Eji berkata dengan mimik wajah yang pasrah. Kulihat sosok tinggi kurus itu. Dia adalah makhluk Tuhan yang indah. Hidungnya bangir, matanya tajam, bibirnya merah, wajahnya tirus, kulitnya putih, dan rambutnya yang hitam dan lebat itu. Sungguh, dulu aku hanya mencintai dan menilainya karena fisik saja. Namun kini, kecintaanku padanya lebih karena jiwanya yang rela berkorban demi seorang yang telah berjasa dalam hidupnya itu. Jiwa yang menginginkan orang yang dicintainya bahagia dengan orang lain yang dianggapnya lebih sempurna ketimbang dirinya. Namun, aku sungguh tak bisa menjalani keinginan jiwamu yang terakhir itu, Ji! Aku tak bisa bersama Virgo yang jelas-jelas tak kucintai itu.
"Lakukan demi aku, Sya! Apabila kamu tidak bisa menerima cinta Virgo, setidaknya lupakanlah aku. Masa depanmu bisa-bisa suram bila kau terus mencintaiku!" pinta Eji dengan mata yang berbinar. Oh, Eji, mana bisa aku melaksanakan pintamu itu. "Aku tahu, itu terlalu sulit untukmu. Tapi begitupula dengan aku, aku juga terlalu sulit untuk melepasmu dan berusaha melupakanmu. Tapi, inilah yang terbaik untuk kita! " sambungnya lagi dengan tatapan mata yang masih tajam kepadaku.
"Ehem, ehem! Kalian lagi ngomongin aku, ya?" terdengar suara seorang lelaki yang membuat kami berdua terkejut. Betapa terkejutnya aku ketika melihat si empunya suara. Begitu pula dengan Eji.
"Virgo?" alangkah terkejutnya kami berdua ketika mendapati Virgo berdi tegap di hadapan kami. Ia menepuk-nepuk pundak Eji dan mengulas senyum pada kami.
"Ka, kapan kamu ke sini?" tanya Eji dengan terbata-bata.
"Nggak sadar ya kalau dari tadi aku ngikutin kalian? Hey, Ji kok kamu tidak pernah cerita tentang perasaan kamu ke Asya sih?"kata-kata Virgo membuat Eji sedikit kikuk, salah tingkah, dan malu. Semua itu terlihat dari mimik wajah dan bahasa tubuhnya. "Ji, kamu nggak perlu segitunya sama aku. Lagian Asya juga suka sama kamu. Jadi, apa salahnya kalau kalian bersatu? Nggak usah mikirin aku segala. Aku juga udah ilfeel sama Asya! He he he! I'm just kidding, friends!" Virgo masih saja mengeluarkan kelakarnya saat suasana setegang ini. Hei, coba dengarkan kata-kata si banyak omong ini! Kata-katanya terdengar wise dan dewasa. 'Salah makan obat apa ya, Virgo hari ini?' tanyaku dalam hati.
"Kalian kok pada bengong seperti ini sih? Hati-hati lo kalau bengong! Apalagi di tempat sesepi ini!" Virgo kembali berkelakar. Kami berdua hanya dapat tersenyum tipis mendengarkan itu.
"Go, maaf ya kalau selama ini aku kasar sama kamu. Walaupun aku nggak cinta sama kamu, tapi mungkin aku nggak seharusnya berlaku dingin dan kasar sama kamu. Sekali lagi maaf ya!" pintaku dengan penuh harap.
"Permintaan maafmu kutolak! Aku terlanjur sakit hati!" ujar Virgo dengan dinginnya.
"Go, kok kamu gitu sih?" Aku hampir saja mewek.
"Eh, aku bercanda! Iya, aku maafin. So, gimana kelanjutan hubungan kalian berdua? Mumpung aku ngasih restu nih!"
Aku dan Eji saling berpandangan ketika mendengarkan ucapan Virgo.
"Kita sahabatan aja. Nggak apa-apa kan Ji?" ucapku dengan mantapnya. Keputusan itu kedengarannya bodoh untuk orang yang sedang dimabuk cinta. Tapi, aku mempunyai alasan tersendiri mengapa aku lebih memilih persahabatan daripada pacaran dengan Eji.
Kulihat Eji tercengang mendengarkan kata-kataku. Begitupula dengan Virgo.
"Lho, kok?" tanya Virgo heran.
"Nilai persahabatan itu kayanya lebih mulia daripada nilai pacaran. Persahabatan juga penuh dengan cinta dan kasih sayang daripada pacaran. Lihat saja si Eji, sampai rela mengorbankan perasaannya demi persahabatannya dengan kamu!" kukemukakan alasanku dengan senyum yang bertebaran. Eji dan Virgo saling beradu pandang dan mereka kompak tersenyum.
"Eh, keliatannya ending cerita kita ini bagus juga ya! He he he!" seloroh Virgo lagi. Kami bertiga tertawa bersama pada siang itu. Aku tak menyangka jika ending cerita cinta pertamaku ini berakhir seperti ini. Yang jelas, aku sangat bahagia karena hari ini aku mendapatkan dua orang sahabat sekaligus, meskipun aku masih menaruh cinta untuk Eji yang kini hádala sahabatku. That's All..
0 komentar :
Posting Komentar