Sabtu, 14 Juli 2012

Cerpen Senandung Musim Gugur


Senandung Musim Gugur
Rahmat H. Cahyono



Di kelas, Lia tetaplah kyosu, dosen yang harus dihormati. Di luar, bolehlah para mahasiswa itu menganggapnya onni atau nunna, kakak wanita yang galak, tapi tetap dekat dengan mereka.

etika Lia keluar aparte pagi itu, hidungnya langsung menyergap aroma udara sejuk awal musim gugur. Ya, musim gugur telah merentangkan sayap-sayapnya di semenanjung Korea, mengubah warna daun-daun yang semula hijau menjadi kuning kemerahan, untuk kemudian rontok satu per satu.
Entah dari mana munculnya perasaan ringan dan keriangan di dalam hatinya itu. Udara seolah bertabur konfeti dari pesta ulang tahun ke-17 seorang dara.

Ia memalingkan wajahnya ke arah matahari yang bersinar lembut keperakan. Membiarkan matahari mengulurkan sinarnya untuk menyentuh kulit wajahnya yang halus dan dihiasi sepasang mata yang begitu hidup dan bercahaya, bibir yang seolah selalu tersenyum, pipi yang kemerahan, dan hidung yang menguatkan kesan manis pada wajahnya. Wajah seorang wanita Jawa yang menjelma sebagai merpati yang berani terbang jauh, sendiri, meninggalkan negerinya di lingkar khatulistiwa.

Awan putih seperti kapas berarak di pucuk-pucuk langit yang seolah diselimuti warna ganih. Ia mengancingkan blazernya. Udara sejuk ini ih hitam yang semula disangkanya masih kerabat gagak di Jawa--yang terbang melintas terdengar. Orang Korea percaya, bila burung itu bersuara, pertanda orang yang dirindukan akan tiba. Persis seperti orang-orang tua di Jawa dulu mengatakan akan ada tamu yang datang jika ada kupu-kupu yang tersasar masuk ke dalam rumah. Ah, Korea, Indonesia, sama saja.

Lia menarik napas dalam-dalam. Baru beberapa minggu lalu ia merasakan sengatan matahari musim panas di semenanjung Korea yang dirasakannya lebih panas daripada Jakarta. Sekarang ia sudah harus mengenakan baju kerja yang lebih tebal untuk menahan serbuan udara yang berubah menjadi lebih sejuk dan berangin.

Wanita muda itu melangkahkan kakinya menuju kampus tempatnya mengajar. Ini semester keduanya di Korea Selatan. Beberapa bulan lalu ketika pertama kali tiba di kota ini, ia langsung jatuh cinta begitu melihat kampus itu. Letaknya yang unik, diapit oleh perbukitan hijau yang mengelilinginya, memanjakan mata Lia yang terbiasa dengan datarnya pemandangan metropolitan seperti Jakarta yang dibangun tanpa perencanaan dan tatakota yang matang. Sebentar lagi pemandangan kehijauan di sekitar kampusnya itu akan berubah, seiring dengan tibanya musim gugur. Daun-daun mulai berubah warna, untuk kemudian rontok seiring udara yang semakin dingin. Kecuali pinus, tentunya, yang perkasa melintasi musim demi musim.

Musim gugur konon melekatkan orang pada kenangan yang menyertai perjalanannya. Begitu pula dengan Lia, sambil berjalan menuju kampus, kenangan demi kenangan mencuri muncul di benaknya.

Lia tiba di Busan, metropolitan kedua setelah Seoul, akhir Februari tahun ini, ketika musim dingin bersiap berangkat meninggalkan semenanjung Korea. Awalnya, Prof. Howard Jones, pembimbing tesis S-2-nya di salah satu satu universitas di Australia, yang menawarinya pekerjaan itu.

"Lia, saya punya teman di Busan, Korea, dari Peninsula University of Foreign Studies.
Namanya Prof. Lim Chun-Do. Dulu kami pernah sama-sama riset di Indonesia dan Malaysia. Kebetulan kami memiliki minat yang sama, mengamati perkembangan Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia. Prof. Lim malah lulus S-2 dari Gajah Mada, bidangnya sama denganmu, ilmu bahasa, sebelum melanjutkan ke Amerika untuk mengambil gelar doktor. Sekarang ia menjadi Ketua Departemen Malay-Indonesia di universitas itu."

"Lalu, Prof?"

"Kami secara teratur terus berkirim-kiriman email. Ia cerita sedang cari dosen dari Indonesia, native speaker, untuk mengajar di tempatnya, minimal S-2. Saya langsung ingat kamu, Lia. Saya bilang sama dia, saya juga punya murid dari Indonesia, baru saja rampung menyelesaikan S-2. Saya pikir ini kesempatan bagus untukmu mencoba menjadi dosen tamu di sana."

"Mengapa saya, Prof?"

"Coba saja, kalau kamu bersedia, saya akan rekomendasikan kamu pada Prof. Lim. Saya tawarkan kesempatan ini kepadamu karena saya tahu potensimu, meskipun kamu terkadang bisa juga menjengkelkan karena keras kepala dan senang membantah," kata Howard Jones sambil tertawa keras.

"Ah, masak sih saya semenjengkelkan itu, Prof?"

Profesor Australia yang meskipun galak namun bisa bersikap hangat seperti seorang ayah itu, mengangguk-angguk seperti burung pelatuk. Matanya bersinar-sinar jenaka. Ia melanjutkan perkataannya, "Selain mengajar, kamu bisa tetap mengembangkan diri di sana, menjadi peneliti mandiri, atau bahkan menulis buku. Kamu kan pernah bilang sama saya ingin serius jadi peneliti ilmu sosial yang baik. Ini kesempatanmu sekarang. Sekalian carilah beasiswa, kalau mungkin, untuk studi lanjutan S3-mu di sana.Tentu hal semacam ini tidak mudah kamu lakukan di Indonesia, jika kamu memilih pulang sekarang-sekarang ini. Saya tahu kesulitan negaramu. Well, bagaimana? Kamu belum ingin buru-buru menikah, kan?"

Lia tertawa. "Ah, Prof ini. Bagaimana mau menikah, pacar saja saya belum punya."

"Masak sih, kamu kan punya 2B, beauty and brain. Behavior-mu, hahaha, juga not bad, meskipun saya merasa kadang-kadang kamu bisa membuat pria takut. Tapi urusanmulah itu. Bagaimana, kamu mau tidak?"

Tawaran itu menarik sekali. Namun, apakah ia akan sanggup melakoninya?

"Beri saya waktu untuk berpikir, Prof," kata Lia.

"Ya, jangan lama-lama, maksimal tiga hari. Beberapa hari lagi saya harus memberikan jawaban kepada Prof. Lim.
Ia minta kabar secepatnya. Kalau kamu tidak bersedia, biar dia cari sendiri dosen tamu langsung dari Indonesia. Saya tidak akan merekomendasikan orang lain."

Waktu sependek itu digunakan Lia untuk mempertimbangkan tawaran itu baik-baik. Ia baru saja menyelesaikan S2-nya di Australia. Sempat ada pikiran untuk sekalian saja mencari beasiswa untuk studi S3-nya di negeri kanguru. Muncul juga dorongan cukup kuat untuk langsung kembali ke Indonesia, dan mungkin kembali ke almamater untuk menjadi dosen. Namun Lia sebelumnya sudah sempat merasakan, menjadi dosen di Indonesia, apa lagi dosen muda, dosen yunior, berarti juga harus siap berhadapan dengan birokrasi pendidikan yang menjemukan itu. Belum lagi mentalitas "pangreh praja" yang ternyata juga menghinggapi sebagian kalangan terdidik macam sikap senior-seniornya itu.

Lagi pula ia masih muda, baru 26 tahun, jalan 27. Ah, tawaran itu merupakan kesempatan emas untuk menempa kehidupannya kembali. Bukankah tinggal di negeri yang berbeda akan semakin mematangkan dirinya dan membuatnya lebih menghargai kemajemukan? Bahwa hidup yang sesungguhnya tidaklah terdiri dari warna tunggal, tapi berbagai warna yang menjelma menjadi pelangi kehidupan itu sendiri?

Dengan antusias akhirnya ia menerima tawaran itu. Dasar rezekinya sedang bagus, garis nasib tampaknya sudah menentukan demikian. Setelah melalui tahapan-tahapan seleksi, Lia ternyata diterima. Paling tidak sampai saat ini ia merasa pilihannya itu tidaklah salah.

Bulan-bulan pertama di negara asing selalu merupakan bulan-bulan penyesuaian. Ketika ia tiba akhir Februari lalu, musim dingin tengah bersiap angkat kaki, namun buatnya yang terbiasa dengan sengatan matahari Jakarta, tetap merupakan persoalan tersendiri.

"Tidak apa-apa Ibu Lia, nanti juga udara berangsur-angsur hangat. Lagi pula, Busan tetap lebih hangat dibanding Seoul," kata Lim Kyosunim (Profesor), panggilan Prof. Lim Chun-Do yang bertubuh pendek gemuk itu.

Wajahnya ramah dan matanya yang sipit seolah tenggelam dalam pipinya yang tembam dan kemerahan serta kacamata minusnya yang lebar. Sikapnya hangat dan bersahabat.

Lia kembali merasakan menemukan figur seorang bapak dari sikap Lim Kyosunim. Kecuali jika profesor yang potongannya mengingatkan pada sosok aktor Danny de Vito itu sedang banyak minum—kebiasaan yang sering dilakukan bersama koleganya atau dengan mahasiswa selepas kuliah.

Ah, kebiasaan minum orang Korea memang luar biasa. Bahkan untuk ukuran Lia yang sebenarnya juga tidak terlalu antiminuman beralkohol. Seolah minum menjadi pilihan, mekanisme yang efektif, untuk melupakan tekanan beratnya hidup dan pekerjaan di negeri semenanjung yang berambisi mengalahkan Jepang, seteru lamanya itu.

Dengan cepat Lia menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya itu. Juga dengan makanan Korea yang bagaimanapun tetaplah tidak terlalu asing untuk lidah Asianya. Kimchi, sejenis asinan yang hampir selalu ada setiap kali orang Korea makan, mula-mula dirasakannya sebagai teror di meja makan, karena rasanya yang aneh dan menyengat. Namun lama-lama ia pun bisa menyukainya.

Sesekali ia juga mampu membuat mahasiswanya bertepuk tangan setiap kali mereka makan bersama, karena di hadapan mereka Lia berani menunjukkan ia pun mampu menenggak soju (wiski) beberapa seloki. Meskipun kesudahannya sudah bisa ditebak: begitu sampai di aparte, isi perutnya akan keluar semua. Muntah. Tidak apa, ini pengorbanan untuk mendekati dan merebut hati mereka, meskipun ia juga tidak sungkan untuk memarahi mahasiswanya jika mereka malas atau membuat ribut di kelas.

Di kelas, Lia tetaplah kyosu, dosen yang harus dihormati. Di luar, bolehlah para mahasiswa itu menganggapnya onni atau nunna, kakak wanita yang galak, tapi tetap dekat dengan mereka. Maklum karena terkadang Lia harus bekerja ekstrakeras memacu motivasi belajar mereka yang justru menurun setelah menjadi mahasiswa. Mungkin energi mereka sudah habis semasa menjadi pelajar di sekolah dasar dan sekolah menengah yang begitu penuh dengan tekanan dan kewajiban. Inilah risiko dari ambisi bangsa Korea yang begitu besar untuk mengejar Jepang, di samping setiap orang memang harus bekerja keras karena Korea miskin sumber daya alam.
"Jadi, kenapa kita tidak membiarkan mereka menikmati masa muda dan memberi saja mereka suasana liburan selama beberapa tahun di universitas ini," kelakar Martin Ashford, dosen Departemen Inggris asal Australia yang sepintas mirip dengan Paul Hogan, si pemeran Crocodile Dundee itu. Ia meledek Lia yang terlihat selalu serius mempersiapkan diri untuk mengajar di kelas.

Ketika Lia bertanya kenapa, dengan tersenyum bujangan berusia 50-an tahun itu ("Menikah hanya cari masalah," katanya) menyahut sekenanya, "Ya, mudah saja Lia. Kau tahu tekanan yang mereka hadapi semasa menjadi pelajar di sekolah dasar dan sekolah menengah. Begitu juga setelah lulus universitas nanti, mereka harus babak belur mencari pekerjaan. Apa yang akan mereka dapat? Sebagian besar dari mereka hanya akan mendapat pekerjaan yang buruk dan tidak bisa dibanggakan, dengan gaji kecil dan jam kerja yang begitu panjang. Itulah sebabnya mahasiswa di jurusanmu sebagian berharap bisa bekerja di perusahan-perusahaan Korea di Indonesia. Dengan nilai rupiah yang hanya sekitar sepertujuh nilai won, sementara biaya hidup jauh lebih murah, mereka serasa akan tinggal di surga, menikmati hidup jauh lebih baik dari kebanyakan orang Indonesia sendiri, dan tetap bisa menabung. Walaupun sebelumnya mereka hanya mahasiswa dengan motivasi rendah dan malas belajar. Ironis bukan?"

Martin, Martin, dasar Australia satu ini mungkin masih keturunan preman Inggris yang dibuang di koloni Australia di abad lalu, mbok kalau menembak jangan langsung begitu. Gara-gara dia, pikiran Lia langsung menerawang ke tanah airnya sendiri. Seberat-beratnya kehidupan mereka, anak-anak Korea itu, rasanya masih lebih baik dibandingkan anak-anak muda di negerinya sendiri.

Gambaran pahit itu bermunculan di benak Lia: barisan kaum muda yang menganggur di Indonesia rasanya semakin bertambah panjang dari tahun ke tahun. Begitu keluar dari rumah, sesosok masa depan yang muram menunggu di balik pintu. Belum lagi mereka yang kehilangan pekerjaan karena PHK. Padahal kekayaan alam apa yang tidak ada di Indonesia? Negeri kelahiran yang terkadang dirindukannya itu sudah terlalu lama babak belur lantaran keserakahan segelintir orang dan hukum yang sudah lama doyong, hampir ambruk.

Huh, tentu saja Crocodile Dundee itu hanya bercanda. Ia sendiri dalam penglihatan Lia termasuk dosen asing yang serius mempersiapkan diri untuk proses transfer ilmu dengan mahasiswanya. Karena itu Lia tetap giat dan mencoba melaksanakan tugasnya secara profesional, apa lagi ia juga terpacu dengan motivasi tinggi yang diperlihatkan sebagian mahasiswanya dalam belajar. Terutama anak laki-laki yang sudah menjalani wajib militer selama 26 bulan, kelihatan sekali tanggung jawabnya dalam membangun hidup dan masa depannya sendiri.

Untuk pergi ke kampus, Lia hanya perlu berjalan kaki. Apartenya hanya berjarak sekitar 15 menit dari tempatnya mengajar. Berangsur-angsur warna coklat di perbukitan yang mengelilingi kampus itu di musim dingin berubah menjadi hijau ketika udara menjadi lebih hangat. Hijau di mana-mana. Bau dedaunan mengambang di udara. Waktu-waktu favoritnya adalah ketika musim semi tiba. Bunga-bunga bermekaran di mana-mana, cantik sekali. Halaman sekolah dipenuhi bunga-bunga sakura yang berumur singkat, hanya sekitar dua minggu. Bunga itu keluar mendahului daunnya, seolah menandai tibanya musim semi. Orang Korea menyebut bunga itu "Bot". Namun nama Sakura tetap kedengaran lebih menyenangkan di telinga Lia.

Tak terasa satu semester pun berlalu. Ia tak merasa menemukan kesulitan berarti dalam menjalaninya. Hubungannya juga cukup baik dengan dosen-dosen asing lainnya maupun dosen asli Korea sendiri. Ada dosen asing dari Cina, Jepang, Rusia, Vietnam, di samping beberapa dosen penutur asli bahasa Inggris dari Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Rasa kangen terhadap segala yang berbau Indonesia dibunuhnya dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan, belajar bahasa Korea, dan melakukan riset mandiri mengenai perolehan bahasa asing mahasiswanya.

Ketika liburan musim panas tiba, Lia nekat melakukan perjalanan ke berbagai kota di Korea, sendiri, menggunakan jalan darat. Melihat kemajuan negara itu, ia terkesan dengan pencapaian bangsa Korea. Memang tak ada yang gratis dalam hidup ini. Mimpi dan masa depan hanya dapat direngkuh melalui kerja keras hari ini. Ah, ia pun tersengat ketika merasakan betapa di musim panas udara di beberapa kota di Korea, termasuk Busan, ternyata bisa lebih panas dari Jakarta atau Surabaya.


Pagi serasa berkabut ketika Lia sampai di ruang dosen asing. Masih sekitar 40 menit dari jam kuliah pertamanya. Ia memang sengaja datang lebih pagi untuk membuka internet dan mengecek email serta membaca sebentar berita-berita dari Indonesia. Namun ternyata ia bukan yang pertama sampai di tempat itu. Ketika ia masuk, Michael Hughes yang besar di Denver, Colorado, dan bapaknya pernah ikut dalam batalyon marinir AS yang diterjunkan dalam Perang Korea di tahun ‘50-an itu, langsung tersenyum lebar menyambut kedatangannya.

"Selamat pagi, Non, kopi atau teh," suara Michael terdengar begitu ceria. Ia tampak tengah mengaduk cangkir tehnya.

"Pagi, Mike, thanks, aku sudah ngopi tadi di aparte. Mengapa gembira sekali kelihatannya kau pagi ini?" sahut Lia sambil menghampirinya.

Mata Michael berputar-putar jenaka, tangannya bergerak luwes memindahkan cangkir tehnya dan duduk di dekat Lia. Selama satu semester sebelumnya, mereka berteman cukup akrab. Amerika berambut keriting yang satu ini lucu dan teman bicara yang menyenangkan. Apa lagi ditopang dengan sikapnya yang halus dan luwes meskipun tubuhnya tinggi besar. Keluwesan dan gayanya mengingatkan Lia pada salah satu bekas menteri Orde Baru yang diisukan gay. Tapi berbeda dengan bekas menteri itu, Michael cukup terbuka dan jujur. Ketika pertemanan di antara mereka semakin akrab, Michael tidak ragu-ragu mengakui bahwa ia juga gay. Dan Lia menghargai kejujuran dan keterus-terangannya.

"Aku tahu kenapa kau kelihatan gembira pagi ini. Karena…," Lia tidak meneruskan kata-katanya. Matanya mengedari ruang kantor dosen asing, dan tertumbuk pada dua buah mata yang biru seperti danau di pagi hari. John Taylor mengangguk sopan dan mengucapkan salam selamat pagi kepadanya. Sejenak Lia terpana melihat senyumnya. Uh, bodoh kamu Lia, seperti tidak pernah melihat orang Barat ganteng saja, pikirnya sambil membalas anggukan pria itu dan membalas salamnya.

"Karena apa, Lia?" bisik Michael seolah tak ingin terdengar oleh orang lain.

"Kamu punya boyfriend baru, ya?" balas Lia berbisik.

"Bagaimana kamu bisa tahu?" Michael yang berusia sekitar 35 tahun itu terlihat penasaran.

"Simpel, boy, tidak perlu kecerdasan khusus untuk membaui orang yang lagi kasmaran. Siapa, orang Korea?"

"Hus, jangan keras-keras. Nanti si iceberg itu mendengar," mata Michael mengerling ke arah John Taylor.

"Bagaimana apa?"

"Si iceberg itu, kelihatannya dia suka kamu, lho?" goda Michael.

Lia melirik lelaki itu, yang baru masuk sebagai dosen di Departemen Inggris semester musim panas ini. John Taylor terkesan pendiam. Itulah sebabnya Michael diam-diam menjulukinya iceberg.

Namun, sejak awal kehadirannya mampu mencuri perhatian Lia. Lia seolah dapat menyelami kedalaman danau biru di matanya. Mukanya klimis, dengan rahang yang kokoh dan kulit berwarna kehijauan bekas bercukur setiap hari. Rambutnya yang kemerahan dibiarkan agak sedikit gondrong. Dengan tubuh tinggi atletis, Lia tampak begitu mungil jika berdiri di dekatnya.

Ketika John baru beberapa hari mengajar di kampus ini, Lia sempat tersenyum ketika tidak sengaja mendengar komentar beberapa mahasiswi departemen Inggris yang mengagumi dosen baru itu.

"Tampan ya," kata salah satu dari mereka. "Tidak, lebih tepat macho," kata temannya yang lain. "Wah, mau aku jadi pacarnya," celetuk mahasiswi ketiga. Ketiga mahasiswi itu pun cekikikan dengan genitnya.

"Hai Lia, kamu mendengar aku bicara tidak, malah melamun," goda Michael. Ah, Lia berusaha bersikap biasa dan mencoba mengatasi ketersipuan pada wajahnya. Sialan, tidak sepenuhnya berhasil. Pasti londo edan yang satu ini sudah melihat rona merah pada wajahnya. Terbukti dari senyum menggoda yang menempel di bibir Michael.

Seolah tahu dirinya sedang dibicarakan, John Taylor mengangkat mukanya dan melempar senyum mautnya itu. Lia mengutuk dadanya yang bergetar melihat senyum itu. Gombal, kok dirinya merasa seperti ABG saja.
Lia, Lia, tabahkan hatimu. Ayo, bangun, Lia, masa-masa itu sudah lewat. Lupakan, lupakan makhluk itu, pejantan yang satu itu. Masih banyak yang harus ia kejar di sini, masih banyak yang harus ia kerjakan sebelum menyerahkan dirinya jatuh ke pelukan laki-laki. Siapapun dia. Bara di dalam hatinya itu tidak boleh padam hanya karena terserempet urusan lelaki.

Lia bergerak menjauh menuju ke mejanya sendiri untuk menutupi ketersipuannya. Ia coba menyibukkan diri membaca ulang materi pelajaran yang akan diberikannya pagi itu pada mahasiswanya.

John Taylor memang dosen asing paling baru di kampus ini. Dia mulai mengajar pada permulaan semester musim panas, satu semester setelah Lia datang. Selepas studi doktor sastra Inggris dari Ohio State University dua tahun lalu, John langsung dihadapkan pada kenyataan, bahkan untuk seorang Ph.D. seperti dia pun tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang pas sesuai selera di negeri kelahirannya, negeri Paman Sam. Sang super power sedang ikut limbung karena hantaman krisis ekonomi global. Tidak cukup banyak pekerjaan tersedia untuk anak-anak mudanya.

Lagi pula ia masih muda, baru 28 tahun. Ia masih asyik dengan mimpi-mimpinya menjadi penulis besar. Pekerjaan apa lagi yang tetap memberinya ruang dan waktu untuk mengejar cita-citanya itu, selain menjadi guru atau dosen. Menuruti gelora mudanya, ia langsung terima tawaran menjadi dosen di Korea. Siapa tahu ia bisa menuliskan novel pertamanya yang cukup bernilai di negeri ini. Mudah buatmu mencari pekerjaan sebagai guru atau dosen bahasa Inggris di Korea, asal kamu penutur asli bahasa Inggris. Lebih mudah lagi jika kamu punya gelar minimal master. Hakwon atau lembaga kursus bahasa Inggris bertebaran di mana-mana, belum lagi sekolah menengah, college, atau universitas.

Karena itu, ketika datang tawaran mengajar di salah satu universitas di Pulau Cheju yang konon merupakan tempat terindah di Korea Selatan, ia langsung menyambar kesempatan itu. Pengalaman tinggal di negeri asing dinilainya juga perlu untuk memperkaya wawasan, jika ia ingin menjadi penulis yang baik. Dua tahun di pulau yang memang indah itu cukup membuatnya betah. Hanya saja kemudian ia butuh mengajar di kota besar lainnya di Korea, untuk pergantian suasana.
Peninsula University of Foreign Studies di Busan menjadi tempat persinggahan berikutnya.
Berhadapan dengan pemilik pabrik Korea itu, Lia merasakan ketegangan yang sama seperti saat menjadi aktivis jalanan.

Melalui beberapa kali kesempatan berbincang, dan sesekali makan siang bersama di kantin khusus dosen, Lia dan John Taylor sedikit demi sedikit mulai bisa berbincang lebih lepas. Udara musim gugur yang semakin sejuk tampaknya justru membuka jalan untuk mendekatkan mereka.

Lia sempat tertawa dalam hati melihat pemuda pemalu itu tampak berusaha keras mencari bahan perbincangan yang bisa menarik perhatiannya. Namun lama kelamaan pria itu bisa membuktikan dirinya teman berbincang yang menyenangkan. Mereka sama-sama kutu buku, sama-sama penyantap film-film seni.

“Lihat Lia, semakin banyak daun yang gugur,” John menunjuk pada gugusan pohon di taman kampus sore itu.

Mereka tengah berjalan pulang bersama menuju aparte mereka yang berdekatan letaknya. Langit warna kelabu, pohon-pohon di perbukitan yang mengelilingi kampus dan daerah tempat tinggal mereka mulai kelihatan cabang dan rantingnya yang kehilangan daun. Lia mengedarkan pandangannya. Udara dingin mengelus kulitnya yang halus. Angin mengibarkan sebagian rambutnya.

Ia tak sepenuhnya menangkap apa yang dikatakan John Taylor. Pikirannya sedang mengembara.

“Apa, John?”

“Hei, kau melamun ya? Tampaknya ada yang memberatkan pikiranmu?” John tersenyum simpatik. Lia mengalihkan pandangannya ke arah perbukitan. Hanya tinggal beberapa blok lagi, mereka akan sampai di aparte.

“Ya, sedikit.”

“Ceritakanlah kepadaku, biasanya kita akan merasa lebih ringan setelah berbagi cerita yang mengganggu hati kita.”

Lia memandang John, mencoba menyelami kedalaman sinar matanya. Apa maksud John dengan tawarannya itu? Apakah ia ingin membuka lembaran baru ke arah hubungan yang lebih personal. Ah, Lia, Lia, kau terlalu berlebihan menilainya. Mungkin ia hanya ingin bersikap baik, menjadi teman yang menyenangkan karena kepeduliannya. Lia menghela napas, mencoba mengusir getaran yang kembali muncul di hatinya, mengandalkan kekuatan yang selama ini dimilikinya dalam menghadapi laki-laki. Toh ia merasa bisa mempercayai laki-laki itu. Setelah berpikir sejenak, ia pun berkata, “Mampirlah ke aparteku sekarang, kalau kau ada waktu. Kita bisa ngobrol sambil minum kopi.”

Hanya sesaat memang, tapi Lia bisa melihat sejenak mata biru itu berbinar, seolah ia sudah menunggu cukup lama munculnya tawaran semacam itu meluncur dari mulut Lia. Lia berusaha menekan perasaannya sendiri dan bersikap biasa.

Sesampainya di aparte Lia di lantai empat, John Taylor langsung bisa merasakan perbedaan kediaman pria dengan wanita. Langsung tercium bau segar menyenangkan dari dalam aparte Lia yang jelas lebih bersih dan nyaman dibandingkan apartenya sendiri. Meskipun ukurannya sama saja kecilnya. Begitu pintu terbuka, langsung terlihat sedikit ruang untuk dapur di sebelah kiri, bersebelahan dengan kamar mandi. Persis di sebelah kamar mandi, terdapat kamar tidur berukuran tiga kali tiga meter. Sebuah ruang yang berukuran kurang lebih sama terletak di sebelah kanan kamar tidur itu. Lia menata ruang kecil itu untuk ruang tamu, dengan jendela yang bisa dibuka. Di musim panas, sinar matahari dapat menerobos masuk dengan leluasa melalui jendela itu. Dari jendela itu juga dapat terlihat aparte tempat tinggal John yang terletak berseberangan dengan gedung aparte yang ditempati Lia.

“Duduk John, biar aku buatkan kopi untukmu,” ucap Lia.

John mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ia mengedarkan pandangannya menikmati ruang tamu yang kecil itu. Pandangannya tertumbuk pada pigura foto yang tampak mencolok terletak di meja tulis.
Di foto itu tampak Lia tengah tersenyum, diapit beberapa laki-laki. Dan siapa itu pria berambut gondrong di sebelah kanan yang tersenyum lebar, tangannya merangkul bahu Lia?

Seakan tahu ke arah mana pandangan John diarahkan, setelah meletakkan dua cangkir kopi panas di atas meja, Lia mengambil foto itu. “Ini fotoku bersama teman-teman lama, aktivis di kota kelahiranku. Kami dulu menyelenggarakan sekolah informal untuk anak-anak pinggiran di kota kami. Kau lihat, ini Father Hadi. Ya, dia seorang pastor. Kami memanggilnya Romo Hadi. Ia mengkoordinir kami menyelenggarakan sekolah itu.”

“Dan ini siapa? Pacarmu?” Lia tersenyum. Ia seolah dapat merasakan, ada nada cemburu dalam cara John bertanya, meskipun ia mencoba menyamarkannya dengan cara bertanya yang terkesan sambil lalu.

“Bisa dibilang begitu,” Lia tersenyum samar.

“Oh,” hanya ucapan pendek itu yang keluar dari mulut John. Roman mukanya tampak sedikit berubah.

“Aku sendiri tidak tahu kategori hubunganku dengannya,” Lia mencoba menetralisir perasaan John. “Ya, biar waktu yang memutuskannya nanti, akan ke mana arah hubungan kami. Sudahlah, kau masih mau mendengar ceritaku?”

“Tentu saja,” John mengangguk mantap. Lia duduk di samping John, dan mulai menceritakan secara ringkas persoalan yang tengah dihadapinya.

Seusai makan siang tadi, Lia dipanggil Prof. Lim Chun-do. Ternyata bukan persoalan sekolah yang ingin dibicarakan. Prof. Lim dengannya.

“Duduk, Ibu Lia,” kata Prof. Lim sambil tersenyum. Wajah Prof. Lim tampak lelah. Meja kerjanya berantakan dengan buku dan berkas-berkas kantor. Dengan sigap dia menyiapkan sendiri secangkir teh ginseng untuk Lia, kopi krim untuk dirinya sendiri. Memang tidak ada semacam pesuruh sekolah yang bisa dimintai tolong untuk membuatkan kopi atau teh. Untuk membersihkan dan merapikan ruang dosen, setiap profesor Korea dibantu oleh satu dua mahasiswa yang menjadi pengurus organisasi mahasiswa jurusan.

Kesempatan itu digunakan Prof. Lim justru untuk menceritakan masalah lain. “Mungkin Ibu Lia bisa bantu,” katanya dengan tenang sambil duduk di hadapan Lia.

Prof. Lim bersama beberapa aktivis dan intelektual Korea yang memiliki hubungan khusus dan pertautan batin dengan Indonesia mendirikan lembaga swadaya masyarakat yang membantu menyelesaikan masalah-masalah tenaga kerja Indonesia di Busan dan kota-kota sekitarnya. Mereka juga menyediakan kursus gratis pemahaman hukum perburuhan di Korea, kursus bahasa Korea dan bahasa Inggris.

Di waktu-waktu senggangnya, Lia ikut mengajar kursus bahasa Inggris buat TKI. Jika ada waktu, ia pun bergabung dengan TKI yang belajar bahasa Korea, karena dia tahu, penguasaan bahasa Koreanya masih jauh dari memadai.

Ada beberapa relawan lain yang mengajar bahasa Korea di tempat itu. Salah satunya adalah Choi Hyun-jin, salah seorang mahasiswa Lia yang tergolong pintar di jurusan Malay-Indonesia. Lia bangga karena Hyun-jin bahkan sudah berani menggunakan bahasa pengantar Indonesia dalam pelajaran bahasa Korea yang diberikannya, meskipun masih terpatah-patah..

Ribuan pencari kerja itu terbang jauh dari Indonesia, laki-laki dan wanita. Seperti kupu-kupu, mereka mencari tempat-tempat yang dilumuri madu di berbagai kota di negeri ginseng, bahkan sampai ke pelosok yang jauh dari keramaian kota besar. Mereka bergabung dengan ribuan pencari kerja lainnya dari Vietnam, Thailand, Bangladesh, Pakistan, India, Filipina, Rusia, dan beberapa negeri lain pecahan Uni Soviet.

Dari salah seorang TKI, Lia akhirnya tahu apa bedanya trainee atau training dengan “swasta”. Trainee adalah TKI yang masuk ke Korea melalui jalur resmi penyalur tenaga kerja. Sedangkan “swasta” adalah sebutan untuk TKI ilegal. Yang ilegal ini justru jauh lebih banyak.
Mereka masuk ke Korea hanya dengan menggunakan paspor turis. Ada juga mereka yang semula TKI resmi, beralih menjadi “swasta”. Itu terjadi ketika kontrak mereka dengan perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja habis, tetapi mereka enggan kembali ke Indonesia karena tahu susahnya mencari pekerjaan yang layak di negeri sendiri. Bisa juga karena mereka lari dari tempat bekerja sebelumnya lantaran tidak tahan dengan beban kerja yang terlalu berat dan perlakuan buruk. Tidak sedikit yang sebelumnya bekerja sebagai pelaut, kemudian memilih bekerja di darat.

Ya, mereka lebih memilih menjadi TKI ilegal, menjalani jenis-jenis pekerjaan berat di berbagai pabrik atau peternakan yang dihindari orang Korea sendiri, daripada kembali ke negeri kelahiran yang terus dirundung awan gelap ketidakpastian masa depan.

Cukup banyak masalah yang harus ditangani lembaga perlindungan pekerja asing itu. Kadang persoalan justru muncul dari TKI sendiri. Peliknya masalah itu bersumber dari rendahnya pemahaman TKI terhadap hak dan kewajibannya sebagai pekerja asing. Banyak di antara mereka memang berlatar pendidikan rendah, bukan pendidikan keahlian. Banyak di antara mereka yang sebelumnya menginjak Jakarta pun belum pernah, langsung lompat dari kampung halamannya ke negeri ginseng.

Pernah Lia berada di tengah situasi yang tidak nyaman dan memalukan. Ketika diadakan pertandingan persahabatan antara TKI dari Busan dengan TKI dari kota lain untuk merayakan Tujuhbelas Agustusan yang juga dihadirinya, terjadi perkelahian hanya karena salah satu pihak tidak puas dengan hasil pertandingan persahabatan itu.

“Itu masih mending, Ibu Lia. Tempo hari sebelum Ibu Lia datang, malah ada TKI sampai masuk rumah sakit karena luka tikam, setelah perkelahi di antara mereka sendiri. Terpaksa lembaga kami urunan mencari dana untuk biaya rumah sakit,” cerita Prof. Lim sambil tertawa, seolah itu merupakan kejadian biasa.

Lia terhenyak tak habis pikir. Mengapa kultur kekerasan itu terbawa jauh sampai ke negeri orang, seolah menggenapi pengetahuan dunia tentang rangkaian kekerasan tak berujung yang terus terjadi di negeri kelahirannya?

Namun yang diceritakan Prof. Lim kali ini bukan tentang kekerasan di antara TKI sendiri, melainkan kasus tiga orang TKI yang dilanggar haknya oleh pabrik pengolahan dan pengalengan ikan tempatnya bekerja.
“Kalau Bu Lia ada waktu, sempatkan temui mereka di kantor lembaga kita. Kasihan mereka, sudah bekerja ekstra keras sekian bulan, belum menerima bayaran, dianiaya pula. Pabrik itu tahu mereka pekerja ilegal, mereka diancam akan dilaporkan pada pihak imigrasi jika berani mengungkap kesewenang-wenangan yang mereka terima. Posisi mereka memang lemah. Sebagai orang Korea, saya malu karena masih ada kejadian semacam itu di negeri saya. Mungkin kepada bu Lia mereka siap menceritakan semua masalahnya,” kata Prof. Lim dengan wajah muram.

Prof. Lim juga meminta tolong agar Lia menemani ketiga TKI itu menemui pihak pabrik tempat mereka bekerja. “Nanti mahasiswa kita Hyun-jin akan pergi bersama-sama dengan Bu Lia dan ketiga TKI itu. Saya sudah instruksikan kepada Hyun-jin untuk menekan pihak pabrik. Kita akan menuntut mereka jika masih menolak memberikan ganti rugi dan membayar hak-hak ketiga TKI itu. Kita akan bela mereka dengan sungguh-sungguh….”

“Itulah yang memberatkan pikiranku hari ini, John. Kasihan nasib para TKI itu. Kasus semacam itu bukan yang pertama, yang pasti juga bukan yang terakhir. Ya, kebetulan besok aku bebas jam mengajar. Aku akan menemui mereka di kantor lembaga, dan siangnya bersama-sama pergi ke pabrik itu,” kata Lia sambil memandang pemuda itu.

“Ceritamu menarik, Lia,” kata John setelah Lia menutup ceritanya. “Betapapun aku kagum kepada TKI-TKI itu. Mereka pergi jauh meninggalkan keluarga dan harus menjalani beban kerja yang begitu berat di sini, kadang lebih dari 12 jam sehari, dengan upah lebih murah dari orang Korea sendiri. Hanya orang-orang tangguh yang bisa menjalani kehidupan semacam itu.”

“Kau salah, John. Itu bukan karena mereka tangguh atau apa. Nasib pekerja migran di mana-mana sama saja. Lupakah kau alasan pekerja-pekerja migran dari Cina, Italia, Asia Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang berbondong-bondong masuk ke negerimu, menjadi imigran gelap, bekerja dengan upah rendah di perkebunan atau pabrik. Itu karena negerinya sendiri suram dan tidak bisa menawarkan masa depan yang lebih baik.”

“Bagaimanapun, bagiku sama saja, mereka tetap manusia-manusia tangguh yang berani terbang jauh ribuan mil, seperti pelikan yang terbang berkilo-kilometer untuk mencari makanan buat keluarganya,” kata John menukas.

Lia tertawa. Tawa yang terdengar merdu di telinga John.

“Hahaha, dasar pengarang, senang meromantisir sesuatu. Wake up man, mereka tidak nantinya mau banting tulang di negeri orang kalau saja ada sedikit peluang untuk memperbaiki nasib di negeri sendiri. Dan kau tahu ironi dari mimpi-mimpi mereka John?”

John menggeleng. Jiwa aktivis nona manis dari Indonesia ini mulai muncul lagi, katanya dalam hati.

“Cukup banyak kasus TKI-TKI itu terpaksa kembali ke negeri ginseng. Mereka gagal membangun hidup dan masa depannya sendiri ketika pulang ke tanah air. Kau tahu mengapa? Itu karena mereka tergoda berlaku konsumtif, tak pandai mengelola tabungan hasil jerih payah sendiri. Hasil kerja keras mereka habis begitu saja. Ironis bukan?”

John terhenyak. Nona manis ini tahu banyak tentang perilaku bangsanya sendiri. Dan jelas ia memang punya kepedulian. John menghela napas. Rasanya ia makin suka pada wanita di hadapannya itu. Rasanya ingin ia memeluknya dan menyandarkan kepala mungil itu di dadanya. Ah, pikiran konyol, godaan kekanak-kanakan, katanya sambil tertawa dalam hati.


Lia menghela napas, mencoba mengatasi keterharuan yang tanpa permisi meruyak di dadanya. Ya, ia terharu melihat keadaan ketiga TKI yang ditemuinya di kantor lembaga siang itu. Memar bekas penganiayaan masih tampak pada tubuh mereka.

Yang tertua bertubuh tinggi kurus, usianya mungkin baru sekitar 35 tahun. Jaket kulit cokelatnya yang mulai pudar warnanya terlihat kotor dan kumal. Wajah Kosasih, nama TKI itu, terlihat lebih tua daripada usianya yang sesungguhnya. Garis-garis pada wajahnya seolah bercerita, hidup memang terkadang begitu tidak ramah dan berat untuk orang-orang sepertinya. Sosok Kosasih melengkapi gambaran ketidakmenentuan masa depan yang dengan gampang bisa ditemui di negeri sendiri.

Dua TKI lainnya lebih muda daripada Kosasih, tampak pemalu dan sama lusuhnya. Namanya Agus dan Yadi. Mereka menghindari kontak mata dengan Lia. Ia dapat memahami kesan tidak percaya diri pada kedua orang itu. Mungkin karena selama ini mereka juga hidup dalam suasana tertekan.

“Saya pernah dengar sebelumnya nama Ibu Lia. Saya senang bisa bertemu Ibu,” kata Kosasih dengan sopan, suaranya berlogat penduduk pantai utara Jawa.

Lia terharu menerima ungkapan tulus yang disampaikan dengan terbata-bata itu. Sudah beberapa kali ia bertemu dengan TKI yang merasa senang dapat mengenalnya. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa senang mengetahui ada orang Indonesia yang melakoni jenis pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaan mereka sendiri di Korea. Kadang-kadang jika libur bekerja, mereka main ke aparte Lia, tentunya ketika Lia juga sedang memiliki waktu senggang.

Dengan singkat, mewakili kedua rekannya, Kosasih menceritakan pengalaman pahit yang menimpa mereka. Mereka sampai di Korea sekitar setahun lalu.

Kenyataan ternyata jauh panggang dari api. Apa yang dijanjikan penyalur tenaga kerja ternyata tidak terbukti. Semula mereka bekerja di laut, ikut kapal penangkap ikan. Tidak tahan dengan kerasnya kapten kapal, mereka melarikan diri dan mencari pekerjaan di darat. Jadilah mereka pekerja ilegal, “swasta”, sementara paspor pun masih ditahan sang kapten kapal.

Peluang pun datang untuk bekerja di pabrik pengolahan ikan mentah di dekat pantai Tadaepo. Nyatanya garis nasib memang tak tertebak. Di sini pun kemalangan mereka belum berakhir. Upah yang dijanjikan tak kunjung terbukti, tenaga diperas dalam kerja belasan jam, terkadang bisa mencapai 24 jam. Duapuluh empat jam, alias sehari semalam. Kalau tidak mau, tak jarang deraan fisik harus mereka terima dari pengawas di pabrik itu. Pihak pabrik tahu mereka hanya tenaga kerja ilegal yang lemah posisinya dari segi hukum positif.

“Saya tidak tahu lagi ke mana harus mencari keadilan. Untuk pulang kampung sekarang pun saya tak punya muka, masih ada utang begitu besar kepada rentenir yang meminjamkan uang untuk biaya ke sini,” ungkap Kosasih dengan wajah orang kalah.

“Kalau begitu tunggu apa lagi, ayo kita berangkat,” ajak Lia dengan bersemangat. Ia segera bangkit dari duduknya. Serasa ia kembali ke dalam dunia lamanya sebagai aktivis, melakukan advokasi untuk orang-orang terpinggirkan.

Dengan ditemani Choi Hyun-jin, mereka pun berangkat ke pabrik tempat ketiga TKI itu pernah bekerja. Ketika mereka sampai, sudah dapat diduga sambutan macam apa yang akan didapat.

“Bagus ya, kalian masih berani datang kemari setelah lari begitu saja,” bentak pengawas pabrik yang bertubuh tambun itu.

Ketiga TKI itu tampak mencoba mengumpulkan keberanian. Lia menengok sekeliling, pabrik itu tidak terlalu besar sebenarnya. Udara dingin musim gugur bercampur amis daging ikan mengambang di permukaan. Beberapa buruh pabrik terlihat tengah bekerja mengangkuti ikan-ikan segar. Angin laut berembus ke arah daratan dari arah pantai Tadaepo.

Lia menengok kepada Choi Hyun-jin.

Hyun-jin mengangguk. “Biar saya bicara dulu dengannya. Ibu Lia tenang saja.” Hyun-jin mengajak Kosasih menghampiri orang itu.

Lia tidak bisa menangkap sepenuhnya apa yang mereka bicarakan karena kemampuan bahasa Koreanya masih sangat terbatas. Sesekali terdengar suara bantahan Kosasih. Rupanya dia lebih percaya diri sekarang, karena kehadiran Lia dan mahasiswanya. Juga dari nada bicara Hyun-jin yang terdengar tegas, terasa anak itu tidak kalah gertak. Terlihat muka sang pengawas berubah. Beberapa kali tangannya menuding-nuding ke arah ketiga TKI dan mengeluarkan suara keras. Beberapa buruh mulai tertarik mendengar suara keras itu dan menghentikan pekerjaannya sejenak.

Lia sendiri tidak sabar, ia segera menghampiri ketiga orang yang tengah berbicara keras dan berbantah-bantahan itu. “Bagaimana, Hyun-jin?” tanya Lia.

“Dia ngotot pihak pabrik tidak salah, Bu. Menurutnya, ketiga TKI itu yang salah. Saya sudah bilang kita akan melaporkan pabrik ini kepada pihak yang berwenang karena mengambil keuntungan dari tenaga kerja. Kalau perlu kita ambil jalan hukum. Biar pabrik ini kena denda yang besar dan masuk daftar hitam. Dia bilang pihaknya tidak takut ancaman itu,” kata Hyun-jin.

Lia menatap dengan tajam pengawas itu sambil bertolak pinggang. Sebentar kemudian terdengar suara Lia yang lantang. Hanya bermodal sedikit bahasa Korea yang dikuasainya dan dicampur dengan bahasa Inggris, Lia menggempur pengawas itu dengan berondongan kalimat, aturan hukum perburuhan internasional yang diketahuinya. Pengawas itu terlongong-longong, tidak menduga dirinya akan dibentak-bentak seorang wanita asing di depan buruhnya sendiri. Beberapa orang yang berada di tempat itu mulai tertawa. Choi Hyun-jin juga tampak tersenyum.

“Sudah, Bu Lia,” katanya, “Sudah jelas dia tidak paham bahasa Inggris. Bahasa Korea Ibu juga masih susah dipahami,” bisik Hyun-jin.

Lia langsung menghentikan ceramahnya dan merasa geli sendiri. Kok bisa-bisanya dia mengomeli orang dengan bahasa yang tidak dipahami seperti itu.

Sebaliknya dengan pengawas itu. Ia merasa dilecehkan. Sebentar kemudian dia sudah bergerak memberi tanda. Beberapa orang berbadan kekar mendatangi tempat itu dengan sikap mengancam. Tampaknya mereka kaki tangan pengawas. Kosasih mendekati Lia, “Hati-hati Bu, mereka tampaknya mau main kasar.” Lia mengerling ke arah Hyun-jin. Anak itu memandang Lia, meminta pendapat. Kedua TKI yang lain juga merapat, sehingga Lia berada dalam kondisi aman di tengah-tengah mereka.

Adrenalin memompa aliran darah Lia menjadi lebih kencang. Sudah lama ia tidak mengalami saat-saat seperti ini, ketegangan yang terkadang muncul dari balik kabut mimpi, serasa sebuah kerinduan yang absurd. Membayang di benaknya pengalaman sebagai aktivis jalanan beberapa tahun lalu, unjuk rasa demi unjuk rasa ketika ia masih mahasiswa. Dan bukankah itu masih debar yang sama di jantungnya?

“Tidak apa Hyun-jin, kalau terpaksa, kita hadapi saja mereka,” bisik Lia.

Mata Hyun-jin membelalak, tidak menyangka Lia akan mengeluarkan isyarat itu. Namun kemudian dia mengangguk, begitu pula ketiga TKI yang mendengar bisikan itu, segera bersikap waspada.

Untunglah sebelum orang-orang berbadan kekar itu sempat melakukan sesuatu, dari arah kejauhan terlihat mobil patroli polisi bergerak mendekat. Wajah pengawas itu berubah. Ia kembali memberi tanda, dan anak-anak buahnya yang berbadan kekar itu pun bergerak menjauh.

Kehadiran dua orang polisi yang keluar dari mobil patroli itu disambut dengan gembira oleh rombongan Lia, dan sebaliknya, wajah si pengawas pun berubah masam. Kedua polisi itu rupanya diam-diam sudah mengamati dari kejauhan. Lia sempat berpikir sejenak, dari mana kedua polisi itu bisa berada di tempat itu pada waktu yang tepat dan mencegah keributan yang mungkin timbul? Ah, mungkin mereka hanya kebetulan lewat, pikir Lia. Namun pertanyaan itu sebentar kemudian lenyap oleh kesibukan negosiasi, dengan ditengahi kedua polisi itu.

Choi Hyun-jin bertindak sebagai juru runding yang ulet dan sabar, dan Lia membantunya memberikan berbagai masukan dalam negosiasi itu. Dengan gigih mereka menekan sang pengawas, sehingga akhirnya setelah melalui negosiasi yang cukup panjang, hasil yang menggembirakan pun didapat.
Ipung datang dan pergi dan datang lagi, sampai akhirnya menyulitkan Lia.

Dengan disaksikan kedua polisi itu, setelah berkonsultasi dengan pimpinannya pengawas mau juga membuat surat perjanjian untuk membayar semua tuntutan dan ganti rugi bagi ketiga TKI itu. Ia juga menjanjikan akan memberikan ganti rugi yang layak untuk deraan fisik yang pernah diterima ketiga TKI, sebagai bentuk penyelesaian di luar pengadilan.

Melalui Hyun-jin dan Lia, jaminan pun diberikan oleh pihak lembaga untuk ketiga TKI itu, meskipun semula kedua polisi itu sempat mempertanyakan legalitas ketiga TKI. Dengan adanya jaminan itu, permasalahan legalitas status mereka sebagai tenaga kerja akan bisa diselesaikan secara baik dalam beberapa hari mendatang, dan tidak menutup kemungkinan bagi ketiga TKI itu untuk disalurkan bekerja di tempat yang direkomendasikan lembaga.

Hari sudah malam ketika Lia sampai kembali di apartenya. Hatinya gembira karena permasalahan ketiga TKI itu dapat diselesaikan dengan baik.

Baru saja Lia menikmati istirahat, ketika telepon di apartenya berdering. Dengan kening berkerut Lia mengangkat telepon itu. “Yoboseyo,” sapa Lia, meniru ucapan halo khas Korea.

Suara John terdengar dari balik gagang telepon. Entah kenapa, Lia merasa senang mendengar suaranya. Benar-benar seperti ABG saja, pikir Lia sambil tertawa di dalam hati.

“Selamat malam, Lia, mudah-mudahan aku tidak mengganggu. Aku hanya ingin sekedar menanyakan bagaimana kabarmu hari ini?”

“Oh baik John, baik.”

“Apakah masalah TKI-TKI itu sudah bisa diselesaikan dengan baik? Maaf, aku jadi ingin tahu.”

“Ya, syukurlah semuanya selesai dengan baik-baik.”

“Apakah polisi jadi mengirim orangnya ke sana?”

“Hei, dari mana kau tahu kami dibantu dua orang polisi untuk menyelesaikan masalah itu?

Terdengar tawa John yang renyah dari balik gagang telepon. “Terus-terang setelah mendengarkan ceritamu kemarin, aku agak mengkhawatirkanmu. Itulah sebabnya, maaf, bukan aku ingin mencampuri urusanmu, tapi tadi siang aku mengecek alamat kantor lembagamu dan mencari nomor teleponnya. Dari mereka aku tahu ke mana kau dan orang-orang itu akan pergi. Instingku mengatakan rasanya perlu kehadiran polisi di tempat itu, untuk menjaga kemungkinan terburuk. Berikutnya tinggal mencari nomor telepon kantor polisi sektor terdekat dengan pabrik itu. Yah, kemampuan bahasa Koreaku, ah, not bad-lah. Aku cerita sedikit, dan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan dengan mengirim patroli polisi ke tempat itu. Benar kan?”

Di seberang telepon, John tersenyum. Wajahnya membayangkan kelegaan. Wanita yang sangat, sangat disukainya itu syukurlah dalam keadaan baik-baik saja.

Lia pura-pura marah. “Kau ini, bisa-bisanya mencampuri urusan orang, memangnya kau siapa, ayahku?”

Terdengar lagi suara tawa John. “Oke, simpan saja kemarahanmu itu pada saat kita makan siang besok. Sudah ya Lia, aku senang kamu baik-baik saja. Besok kau harus cerita yang lengkap soal kejadian hari ini padaku. Aku tahu sekarang pasti kau ingin beristirahat. Baiklah, selamat malam Lia,” terdengar suara gagang telepon diletakkan oleh John.

Perlahan-lahan Lia meletakkan gagang telepon itu.

Lia terharu. Mungkin tak salah jika ia berkesimpulan lelaki Amerika yang sehari-hari terkesan pendiam itu menaruh hati padanya. Tak sulit mendeteksi perubahan sikap John terhadapnya, sama mudahnya dengan membaui udara musim gugur yang lembap dan membangun suasana biru dalam hatinya. Biru yang sendu.


Musim gugur pertama yang dilalui Lia di Korea tampaknya mendatangkan kesan tersendiri buatnya. Dari hari ke hari, keduanya semakin dekat saja. Ya, Lia dengan John. Ketika hari-hari yang semakin dingin justru dilalui dengan perasaan hangat, diam-diam Lia harus mengakui, dalam banyak hal dia merasa cocok dengan laki-laki pemalu itu. Di balik sikapnya yang terkesan pendiam, John ternyata memiliki kepribadian yang hangat. Sikapnya yang tenang memang terasa berlawanan dengan kepribadian Lia yang terkadang meletup-letup.

Mungkin akan lebih mudah buat Lia memutuskan perasaannya sendiri kepada John, kalau saja sore itu tidak datang kabar yang membuatnya tersentak dan memaksanya memikirkan kembali langkah yang harus diambilnya.
Bermula dari suatu hari di penghujung musim gugur ini. Di luar sore mengambang, langit berawan, dan telepon di aparte Lia kembali berdering.

Sigap Lia mengangkat telepon itu, dan terkesiap ketika suara yang sangat dikenalnya itu langsung menyapa dalam bahasa ibunya, ”Selamat sore Lia.”

”Selamat sore,” Lia menjawab perlahan.

”Masih ingat suara siapa ini?”

Tentu saja Lia masih mengingatnya dengan jelas. Ia tertegun, kehilangan kata-kata. Sampai suara di balik gagang telepon itu kembali menegurnya, ”Lho, kok diam. Ke mana lidahmu yang biasanya lincah dan tajam itu. Apakah bahasa Korea telah membuatmu kehilangan kemampuan bicara Indonesia?” Suara di balik telepon itu tertawa. Suara tawa yang diam-diam pernah dirindukannya.

Cepat Lia menguasai diri. Bagaimanapun, ia tak ingin terkesan tolol jika berbicara dengan lelaki itu. Lia menjerit senang, suaranya mengalun lincah dan riang, ”Aih Pung, mana bisa aku melupakan suara tokoh legendaris di kalangan mahasiswa demonstran beberapa tahun lalu. Apa kabar? Eh dari mana kau tahu nomor teleponku? Ini SLI, ya?”

”Hai, satu-satu, Non. Ya, ini Ipung, masih Ipung yang sama. Tentu saja gampang mencari nomor teleponmu. Dan ehm, tebak aku ada di mana sekarang?”

”Mana aku tahu?”

Ipung tertawa. Masih suara tawa yang sama. Masih Ipung yang sama. Wajahnya, senyumnya, berlintasan di benak Lia. Di luar aparte, senja yang dingin membuat daun-daun berwarna kemerahan semakin merunduk, lebih banyak lagi yang melayang gugur ke tanah.

”Aku ada di Seoul sekarang.”

”Hah, yang benar?”

”Surprise, kan? Memang aku tidak ingin memberi tahu kamu lebih dulu. Namanya juga kejutan. Aku sudah dua hari di sini, mengikuti delegasi Indonesia dalam pertemuan dan seminar HAM Asia Pasifik. Dua hari lagi aku bebas. Selesai.”

”Wah, sudah jadi tokoh aktivis beneran rupanya. Kau tahu, Seoul-Busan hanya sekitar lima jam dengan kereta. Empat jam malah, kalau kau naik Seomaul, kereta ekspres.”

”Apakah ini sebuah undangan? Aku memang berencana mampir untuk menengok kamu. Itu pun kalau kamu tidak keberatan.”

Wajah Lia berseri. Bagaimanapun, setelah sekian lama, pertemuan dengan Ipung di sebuah negeri asing ketika ia merasa sendirian tentu akan menjadi peristiwa yang menyenangkan. ”Hei, aku tak akan mengulang tawaranku dua kali. Memangnya kau tak rindu kepadaku ya. Kapan acaramu selesai?”

”Jumat siang.”

”Oke, Sabtu dan Minggu aku bebas. Datanglah ke Busan dan menginaplah di tempatku barang satu dua hari. Tanggal penerbangan kembalimu ke Indonesia masih bisa diubah kan? Kau naik apa? Garuda? Mungkin Senin, pukul sebelas siang, kau bisa pakai Garuda rute Seoul-Jakarta untuk kembali. Nah, kalau kau langsung berangkat ke Busan, Jumat malam kita sudah bisa ketemu di Busan Yok, Stasiun Busan. Minggu malam kau bisa kembali ke Seoul, naik bus atau kereta. Bagaimanapun, aku senang bakal ketemu kamu.”

”Aku juga. Aku rindu kamu Lia.”


Malam itu Lia sulit memejamkan matanya. Kenangan lama pun merembes seperti udara dingin musim gugur di luar apartenya, merasuki sukmanya, membawanya terbang memasuki kembali hari-hari yang lewat dan pernah melengkapi album hidupnya.

Beberapa tahun lalu, Lia ingat, neneknya langsung menyongsongnya ketika ia baru saja sampai di rumah selepas kuliah. Sejak kuliah Lia memang memilih tinggal bersama kakek dan neneknya.

Nenek Sunarti langsung bercerita, ”Tadi sore Romo Hadi ke sini. Ia juga sempat menanyakanmu. Katanya kau sempat janji mau membantunya mengajar di sekolah darurat untuk anak-anak pemulung di dekat pembuangan sampah kota ini. Apa benar?”

”Oh iya. Aku memang pernah janji mau membantu Beliau. Kapan Lia bisa mulai?”

”Minggu depan, katanya. Romo ingin ketemu kamu dulu. Tadi Romo Hadi kemari ditemani pemuda, siapa namanya, Pak?”

Kakek Subroto tersenyum. ”Ipung? Namanya Ipung? Katanya dia kenal baik sama kamu.”

Lia tersentak mendengar nama itu. Ipung? Ipung kembali ke kota ini? Wajah Lia tampak berubah. Matanya yang semula redup karena lelah menjadi bercahaya.

”Anaknya spontan dan lucu, lho. Sambil ketawa dia bilang sama Eyang bahwa sebenarnya Lia itu sudah lama naksir dia. He he, dasar anak bengal. Apa benar itu Lia?” tanya Eyang Subroto sambil tersenyum geli melihat perubahan wajah Lia.

”Huh, bohong, Yang. Terbalik itu. Dia yang naksir berat sama aku.”

Ah, Ipung. Si kurus gondrong yang senang menarik kuncir Lia waktu posma, kakak kelas dua tahun di atas Lia. Terbayang senyumnya yang menyenangkan, sikapnya yang hangat seperti matahari pagi. Kenangan Lia langsung berlarian kepada pengalaman beberapa tahun sebelumnya.

Saat itu ia merasa meninggalkan jejak-jejak masa remajanya di gedung SMU yang tua dengan dinding-dinding yang dapat bercerita, bersiap memasuki dunia manusia dewasa yang tidak sepenuhnya ia pahami, namun sangat ingin ia rasakan.

Lia merasa beruntung menjadi mahasiswa di tengah perubahan besar yang bakal terjadi di negerinya. Ketika tanpa ia sadari mimpi-mimpi masa remajanya langsung tanggal bersama kenyataan hidup bangsanya yang berenang di telaga air matanya sendiri.

Saat itu buat Lia yang tengah sibuk merampungkan skripsi S1-nya, tetap tidak ada alasan untuk duduk diam seperti anak manis sambil berpangku tangan. Unjuk rasa menjadi pilihan efektif untuk mengatakan ”tidak” kepada penguasa yang menulikan telinganya sendiri dari jerit tangis rakyatnya.

Lia berada di sana. Mengikuti semuanya, ikut mengkoordinir demonstrasi demi demonstrasi, terlibat dalam rencana ”pendudukan” gedung wakil rakyat. Selebihnya ia ikut berdebar dan berkeringat setiap kali berlarian dikejar aparat keamanan di jalanan, atau menghindari gas air mata.

Saat-saat itulah ia semakin akrab dengan Ipung yang sudah lebih dulu aktif sebagai aktivis. Ah, siapa mahasiswa yang langganan ikut demonstrasi di kota itu yang tidak mengenal Ipung. Ipung yang punya jam terbang tinggi sebagai aktivis jalanan tampak menonjol saat itu.
Ia pandai memancing empati dengan pidatonya di tengah kerumunan mahasiswa. Hubungannya luas dengan berbagai tokoh kritis dan oposisi. Ipung juga pandai bernegosiasi dan meyakinkan orang, sebagaimana beberapa kali dibuktikannya ketika ia berhasil meyakinkan kepala polisi di kota itu untuk ”melepaskan” beberapa mahasiswa yang tertangkap dalam kegiatan demonstrasi. Beberapa kali Ipung sendiri terkena pukulan dan tendangan dalam unjuk rasa, atau diincar untuk ditangkap. Namun ia selalu kembali di barisan terdepan.
Lia merasa, Ipung juga ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Paling tidak, Ipung dengan sikapnya yang SKSD, sok kenal sok dekat, mulai mencoba menarik perhatiannya. Naluri kewanitaan Lia menyadari itu. Lia senang, dan untuk pertama kalinya merasakan getaran aneh di hatinya berhadapan dengan lawan jenis dan makhluk seperti Ipung. Namun ia juga merasa tak nyaman melihat Ipung ternyata sadar betul dengan daya tariknya, sebagaimana tercermin dari kesediaan beberapa wanita yang mau dipacarinya, bahkan bertindak lebih jauh dari sekadar pacaran.

Lia kembali cukup intens bertemu dengan Ipung dekat menjelang keberangkatannya ke Australia untuk studi S2-nya. Kegiatan bersama Romo Hadi dan Ustad Harunlah yang mempertemukan mereka. Setelah tiran tua itu turun, Lia memilih menggeser kegiatannya sebagai aktivis ke dalam karya yang dirasakannya lebih langsung bisa dirasakan orang kecil. Ia terlibat dalam kegiatan kemanusiaan yang dirancang Romo Hadi. Dengan Ipung ia sempat ketemu beberapa kali, merasakan ketertarikannya tak juga berkurang, tapi sekaligus tidak berani membuka ruang untuk sebuah komitmen lebih menyangkut hubungan mereka.

Sampai akhirnya Ipung menghilang. Imbas perubahan struktur pemerintahan pusat dan arah angin politik memungkinkan sejumlah tokoh kritis yang beroposisi sebelumnya, kini justru masuk ke dalam jaring-jaring kekuasaan. Salah seorang yang dulunya tokoh oposisi mengajak Ipung terlibat dalam persiapan langkah-langkah dan organisasi politiknya. Ipung merasa itu kesempatan ikut membangun kultur politik yang lebih baik dan terbuka. Paling tidak itu yang dikatakannya kepada Lia. Paling tidak itu keyakinannya, mengapa tidak? Ipung menerima tawaran itu, meninggalkan kota mereka, meninggalkan Lia yang tak kunjung mantap dengan perasaannya sendiri. Cukup lama mereka sempat kehilangan kontak. Lia sempat merasa kehilangan. Sesekali Ipung masih suka menelepon. Lama-lama suaranya menghilang, tersesat dalam rimba kesibukannya yang baru. Begitu juga Lia.

Sampai datang kabar itu: Ipung kembali! Dan Lia masih mengingat pertemuan-pertemuan terakhir itu.

Hari itu Lia bergegas meninggalkan rumah untuk menemui Romo Hadi. Ah, Romo Hadi yang ganteng. Masih muda, energetik, belum lama ditahbiskan sebagai pastor. Siapa menyangka jika pria bersuara tenang, berat, dan mantap, dengan sosok mirip Roy Marten di masa mudanya, adalah seorang pastor. Apa lagi ketika sehari-hari jika sedang tidak memakai seragam dinasnya saat bertugas memimpin misa di gereja, Romo Hadi lebih suka mengenakan celana jins dan kemeja kotak-kotak warna cerah. Lia sempat kesengsem ketika awal mula kenalan. Pikirannya yang nakal melayang, sayang rasanya mengetahui pria itu memilih menghabiskan umurnya sebagai pelayan Tuhan.

Lia tahu ke mana ia bisa menemui Romo Hadi. Ke sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota, dekat tempat pembuangan sampah raksasa yang menampung sampah hasil peradaban seluruh penduduk kota. Masih tercium bau sampah basah menyengat dalam radius tiga kilometer. Kepulan asap sampah yang dibakar mengambang di udara seperti halimun di pegunungan, juga dalam radius beberapa kilometer.

Perkampungan kumuh yang berdiri di atas tanah negara itu dihuni lebih dari seribu jiwa. Lengkap dengan nilai-nilai kehidupannya yang tersendiri. Kebanyakan kepala keluarga bekerja sebagai pemulung atau buruh lepas harian, pengangguran, pemabok, pencopet, pecandu magadon dan obat-obatan kelas kambing lainnya, pengemis dan jembel, bahkan residivis. Kejahatan ala jalanan dan kaki lima menjadi peristiwa sehari-hari. Juga wanitanya, ditambah dengan mereka yang menjajakan barangnya yang paling pribadi, menjadi pelacur murahan yang jasanya sebagai tempat pelampiasan birahi lelaki iseng, bisa dibarter dengan sedikit uang senilai beberapa bungkus rokok. Makian dan umpatan menjadi bahasa sehari-hari di tempat itu. Banyak pasangan telah bersama bertahun-tahun dan menghasilkan keturunan, tanpa bisa menjelaskan atau menunjukkan bukti sah perkawinan mereka.

Lia takjub bagaimana Romo Hadi secara kreatif bisa menemukan dan memilih tempat itu sebagai ladang pengabdiannya. Hari-hari yang berlalu di tempat itu bisa diringkas dalam sebuah pertanyaan sederhana: apa bisa kita makan hari ini? Ya, soal makan sehari-hari menjadi persoalan hidup dan mati di tempat itu. Karena itu, jangan tanya pandangan mereka tentang sekolah dan pendidikan anak-anaknya. Itu sudah masuk kriteria kemewahan buat mereka. Lagi pula, anak-anak malah bermanfaat untuk diperas tenaganya, dieksploitir, bisa membantu mencari nafkah buat keluarga. Mereka toh bisa disuruh mengamen, menyemir sepatu, jualan koran, mengemis, mencari calon korban pencopetan atau penodongan, bahkan melacurkan diri.

Begitu sampai di perkampungan itu, Lia menghadapi pandangan mata menyelidik dari para penghuninya. Hidup sehari-hari yang tidak adil membuat mereka menjadi gampang curiga terhadap sesama. Bangunan-bangunan kumuh semi-permanen tumbuh merapat, kebanyakan terbuat dari kayu dan seng, bertebaran tak beraturan seperti kotak-kotak korek api di atas papan monopoli. Bisa dibayangkan seperti apa panasnya jika matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Lia berusaha menebar senyum dan menjaga gerak-geriknya sewajar mungkin. Beberapa anak pemulung yang tak berbaju dengan ingus menempel sampai ke pipi mengikuti langkah Lia. Langkah mereka terhenti ketika Lia memasuki sebuah bangunan sederhana, mirip bedeng, terbuat dari kayu dan beratap asbes. Lantainya hanya disemen, dinding-dinding kayunya tidak dicat. Di dalamnya dibuat seperti ruang kelas dengan kursi dan meja kayu seadanya.

”Hai Lia, masuklah,” kata Romo Hadi sambil tersenyum lebar ketika Lia sudah berdiri di pintu sambil mengucap salam.

Hari itu, Lia beroleh teman baru. Selain Ustad Harun sahabat Romo Hadi yang sudah lebih dulu dikenalnya, ia berkenalan dengan Pak Iyang, lelaki berwajah sabar yang belum lama dipecat dari pekerjaannya sebagai guru sebuah sekolah dasar swasta terkemuka di kota itu. Pak Iyang dipecat dari sekolah macam itu lantaran berani menolak permintaan pengurus yayasan sekolah untuk mengatur kenaikan kelas anak seorang dermawan yang rajin membantu melengkapi fasilitas sekolah itu.

Ada Pak Item, lelaki yang dituakan, bos pemulung, di pemukiman itu. Dan, siapa itu lelaki gondrong yang tersenyum-senyum sambil mengulurkan tangannya kepada Lia? Ipung. Ya, Ipung. Lia diam-diam berdoa agar Ipung tidak melihat semburat merah yang mewarnai pipinya.

”Apa kabar, Pung? Kukira kau masuk daftar aktivis korban penculikan yang tak pernah kembali,” Lia berusaha agar suaranya terdengar sewajar mungkin, meskipun gemuruh di dadanya tak bisa ia bohongi.

”Baik Lia. Yang pasti, aku kangen sama kamu,” kata Ipung tanpa malu-malu. Romo Hadi tersenyum. Begitu pula yang lain.

”Sudah, Pung. Jangan menggoda Lia. Mengajar di tempat semacam ini saja sudah tidak mudah buatnya. Apa lagi harus menghadapi laki-laki penggoda seperti kamu,” kata Romo Hadi.

”Romo jangan mengecilkanku. Aku cukup tangguh lho. Apa lagi hanya sekadar menghadapi cowok macam Ipung. Kau sendiri Pung, kenapa kau balik ke kota ini. Kecewa dengan kelakuan tokoh-tokoh politik yang dulu kau bela dan kini lupa diri setelah berkuasa?”

”Jangan sinis begitu, Lia. Itu kan bisa kita obrolkan nanti saja. Berdua,” kata Ipung sambil mengedipkan mata.


Lia tak bisa menolak keinginan Ipung untuk mengantarkannya pulang. Sebenarnyalah ia juga tak ingin menolak. Sepanjang perjalanan, Ipung yang sibuk mengemudikan sepeda motor Lia, tak banyak bicara. Ia terlihat lebih matang dari sebelum pergi meninggalkan kota mereka. Namun, akhirnya Lia tahu juga sebabnya mengapa Ipung memutuskan kembali.

”Ya, kau benar, Lia. Aku memang kecewa begitu menyadari manusia gampang sekali berubah. Banyak sekali perubahan yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita. Bayangkan jika kau tiba-tiba tersadar bahwa selama ini kau hanya bermimpi,” kata Ipung sesudah sampai di rumah Lia. Sore di beranda rumah masih menyisakan panas tadi siang. Hanya sesekali angin melintas, menggoyang pelan tanaman penghias halaman.

”Bukankah itu tak sepenuhnya buruk? Bukankah terkadang mimpi juga yang mendorong manusia mengubah hidupnya? Kau ini kenapa sih? Biasanya kau kan malah meledek kecengengan orang lain.”

”Memalukan, Lia. Apa yang kusangka sebagai manusia-manusia istimewa karena berani melawan penguasa yang sewenang-wenang beberapa tahun lalu, kini sudah berubah menjadi seperti penguasa yang dulu mereka kritik. Kini mereka sendiri yang saling serang dan berebut kekuasaan.”

Lia tertawa. ”Kau sih, aktivis macam apa kau ini? Sudah tahu kekuasaan cenderung korup, kok malah mendekat-dekatkan diri dengan kekuasaan. Sekarang kau kena batunya, kecewa sendiri dengan mereka. Tapi syukurlah kalau kau sendiri menyadari bahwa hal itu memuakkan dan tidak justru ikut larut di dalamnya.”

Ipung tersenyum pahit. ”Yang aku sesalkan hanyalah, kekuasaan nyatanya memang bisa mengubah manusia. Padahal rasanya baru kemarin mereka teriak-teriak menghantam kekuasaan yang dipergunakan tidak semestinya.”

”Jadi itu alasanmu kembali ke kota ini?”

”Iya, kupikir di sini aku bisa lebih bermanfaat. Bersama orang-orang seperti Romo Hadi, aku bisa mengerjakan hal-hal yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh orang-orang kecil di kota ini.”

”Bukan karena ada aku di sini?” Goda Lia.

”Mungkin juga itu jadi sebagian alasanku untuk kembali,” Ipung menatap Lia sambil tersenyum penuh arti. Lia membuang pandangan ke arah jalan raya. Ia tak ingin Ipung memergoki wajahnya yang kembali merona merah.

Lia senang dengan kegiatannya membantu Romo Hadi dan kawan-kawan.
Lagi pula, di tempat itu juga ada Murni yang telah mencuri hatinya. Anak bungsu Pak Item yang baru enam tahun usianya itu terlalu lucu dan manis untuk terdampar di tempat menyedihkan macam itu. Anaknya berani, cerdas, dan tidak pemalu. Ia juga langsung lengket dengan Lia yang pada dasarnya memang suka anak-anak. Sedih Lia membayangkan masa depan macam apa yang menanti Murni seandainya ia terus terjebak di tempat semacam itu. Tidak berani Lia membayangkan lebih jauh hal-hal yang bisa menjadi lebih buruk daripada mimpinya yang terburuk.

Di tengah keasyikan mengajar di tempat itu, Lia mulai merasakan adanya kecemasan yang mengambang di udara. Keadaan hanya tenang sebentar, sudah muncul lagi gangguan yang dirasakan langsung oleh penghuni pemukiman itu. Mulai datang satu dua laporan kepada Romo Hadi dan kawan-kawan tentang ulah preman-preman yang semakin mengkhawatirkan.

Pihak pemda tampaknya justru merestui ”pemukiman liar” itu dihapus dari peta kota. Lagi pula, bukankah lebih baik jika pihak swasta mengambil alih tempat itu untuk usaha apa pun. Ini kan tugas mulia, bisa mengurangi angka pengangguran. Bukankah ini juga akan mendatangkan tambahan pemasukan buat pemda, ketimbang membiarkan tempat itu menjadi hunian kaum pinggiran yang hanya membuat suntuk pandangan warga kota yang terhormat?

Dengan logika berpikir kekuasaan yang semacam itu, Romo Hadi dan kawan-kawan praktis sendirian membantu memenangkan warga di pemukiman itu. Berbagai upaya telah coba mereka lakukan: menghubungi beberapa pihak, berunjuk rasa ke DPRD untuk meminta dukungan wakil rakyat, beberapa kali ke pemda mencoba menemui kepala daerah, namun hasilnya nihil. Teman-teman lama aktivis kampus bermunculan, menghubungi Lia dan Ipung, menanyakan bantuan apa yang bisa mereka berikan. Belakangan, dari pihak yang berkuasa malah muncul tuduhan bahwa Romo Hadi dan teman-teman punya agenda politik tersendiri untuk menjatuhkan pemda.

Romo Hadi hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi tuduhan dan fitnah semacam itu. Ketika mereka tengah berkumpul di sekolah darurat itu, dengan nada pahit Ustad Harun berkata, ”Yang berubah di negeri ini hanyalah figur orang-orang yang berkuasa. Selebihnya, perilakunya masih tetap sama. Bahkan model intimidasinya pun masih tetap sama, tidak kreatif.”

Sudah beberapa kali sekolah darurat itu kedatangan tamu tidak diundang. Kadang barang-barang yang sudah dirapikan menjadi berantakan. Beberapa fasilitas mengajar bahkan hilang. Beberapa orang tua mulai melarang anaknya mengikuti sekolah darurat itu. Mudah sekali isu mempengaruhi orang-orang sederhana itu. Untunglah berkat usaha Pak Item, warga di tempat itu tidak kehilangan kepercayaan kepada Romo Hadi dan kawan-kawan. Bukankah suara hati nurani tidak bisa dimanipulasi dan dibohongi?

Malam baru saja turun di kotanya ketika telepon mengejutkan itu akhirnya datang juga ke rumah Lia. Subroto terkejut melihat wajah Lia berubah pucat. Lia tampak bergegas mengambil jaket dan helm.

”Mau ke mana kamu, Nak? Sudah malam lho,” Sunarti bertanya dengan lembut. Ia bisa merasakan kegelisahan dan kesedihan di hati Lia.

Lia menjawab dengan suara bergetar, ”Mereka jadi juga menggusur tempat itu, Yang. Ipung ada di sana sekarang. Ia yang mengabari tadi lewat telepon. Sekolah kita, ahÖ.” Lia tertunduk. Suaranya hilang ditelan kesedihannya.

”Kenapa dengan sekolah itu?” tanya Subroto sambil memegang bahu Lia.

”Mereka bertindak terlalu jauh. Semestinya mereka tidak perlu mencoba membakar bangunan-bangunan di tempat itu. Kejam sekali mereka.”

”Oh, orang-orang zalim,” Sunarti memeluk Lia.

”Yang, izinkan aku ke sana. Barangkali masih ada yang bisa diselamatkan dari sekolah itu.”
Lia merasakan keharuan yang dalam saat Ipung hendak pergi. Ia merasa kehilangan juga, tapi bagaimana dengan John?

Lia menyiapkan diri untuk menerima kenyataan terburuk. Namun tetap saja hatinya tergoncang melihat pemukiman itu telah porak-poranda. Lia diperbolehkan masuk setelah berdebat cukup lama dengan petugas keamanan yang membarikade tempat itu. Diterangi cahaya sisa-sisa bangunan yang terbakar, Lia menemukan Romo Hadi dan kawan-kawan tengah memandang sedih bangunan sekolah mereka yang ikut terbakar. Ipung ada di sana, terluka di bagian tangan dan kepalanya. Semua orang tampak sedih dan kumuh. Lia melihat kesedihan terpancar dari mata setiap orang. Kepala mereka tertunduk.

Romo Hadi menarik Lia ke sudut yang agak sepi. Batin Lia langsung bereaksi: apakah sesuatu yang lebih buruk telah terjadi?

"Lia, kuatkan hatimu. Percayakan dirimu bahwa segala sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya," Romo Hadi berkata dengan suara lembut.

"Ada apa, Romo?"

"Ini tentang Murni, Lia."

"Ada apa dengan Murni?"
Lia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

Romo Hadi tidak menjawab. Ia membawa Lia ke salah satu bangunan yang masih utuh. Lia mendengar suara tangis Mak Isah, ibu Murni, terdengar dari dalam bangunan itu. Lia tak berani membayangkan sesuatu yang lebih buruk telah terjadi. Romo Hadi menyibak kerumunan orang. Mereka langsung memberi tempat buat Romo Hadi dan Lia. Begitu melihat Lia, Mak Isah langsung bergerak mendekat,

"Murni, Mbak Lia, Murni…." Mak Isah tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Tangisnya terdengar begitu mengibakan hati.

Seperti bermimpi Lia melihat Murni terbaring di dipan kecil. Masih tetap manis, meskipun baju dan kulitnya tampak kotor. Lia menyentuh tangan Murni. Dingin. Murni tidak akan mati, sayang. Tidak akan. Kamu terlalu berharga, terlalu cantik untuk mati. Lia ingin mengucapkan kata-kata itu. Namun suaranya tersumbat kesedihan yang menguasai dirinya.

"Tabahkan hatimu, Lia. Tuhan telah membebaskannya dari hidup yang berat. Baru saja, ketika Murni tadi terjebak asap di salah satu bangunan yang terbakar," suara Romo Hadi terdengar begitu dalam. Lia tenggelam dalam genangan kesedihan dan air matanya sendiri.

Matahari tampak lebih redup daripada biasanya. Pemakaman Murni hanya dihadiri beberapa orang. Kesedihan mengambang di udara, bercampur debu tanah merah yang diterbangkan angin di sekitar pemakaman itu. Lia kembali menangis ketika gundukan tanah merah mulai menutupi makam Murni yang kecil, di tempat pemakaman orang-orang terlantar atau orang-orang tak dikenal. Mak Isah menangis sesenggukan, tidak meraung-raung lagi seperti semalam. Pak Item terdiam, tapi orang tahu kesedihan di wajahnya tak akan hilang bertahun-tahun kemudian. Melekat, seperti kemiskinan yang telah menempanya dan membuat punggungnya bungkuk mengangkat beban hidup yang berat.

Ketika mereka kembali ke tempat bekas sekolah darurat setelah penguburan Murni, Ipung mendekati Lia yang masih tenggelam dalam kesedihannya.

"Apa rencanamu setelah ini, Lia?" Tanya Ipung hati-hati.

Lia tidak menjawab, sebaliknya mengalihkan perhatian pada luka-luka Ipung yang telah tertutup perban. "Bagaimana lukamu?"

"Tidak apa-apa. Tidak usah khawatirkan. Apa rencanamu setelah ini?" Ipung mengulangi pertanyaannya. Lia masih terdiam tidak menjawab.

"Kamu cantik kalau sedang sedih," Ipung mencoba melucu.

"Pung, aku sedang tak ingin becanda."

"Sorry, tapi kau belum menjawab pertanyaanku."

"Aku sedang berpikir, Pung. Tidak mudah memang menentukan sikap setelah apa yang kita alami di tempat ini. Tapi kurasa aku akan memanfaatkan kesempatan beasiswa ke Australia itu."

Ipung mengubah sikapnya menjadi lebih serius. "Itu bagus, tapi bagaimana dengan kita?"

"Kita? Maksudmu?"

"Kau tahu, kita, kau dan aku. Aku menginginkan lebih daripada sekadar bersahabat."

Lia menghela napas. "Biarlah berjalan secara alami dan apa adanya. Bukannya aku tak pernah berpikir ke arah itu. Namun aku butuh waktu untuk mengatasi kesedihan yang kuperoleh di tempat ini. Lagi pula, tempat ini butuh lebih dari sekadar perhatian biasa darimu, Romo Hadi, dan teman-teman yang lain. Aku rasa kau bisa memahaminya."

Ah, kenangan itu, kesedihan itu. Lia masih mengingat semuanya dengan baik. Malam ini disela jarak ribuan kilometer dari kota kelahirannya, kenangan itu muncul kembali, mengikutinya ke mana pun dia pergi. Kesedihan itu, perasaan kosong itu, menjelma sebagai awan tipis kehitaman yang berarak dan mengikutinya ke mana-mana. Sesekali menyelusup ke dalam mimpi-mimpinya. Hanya waktu yang kemudian berangsur-angsur menipiskan duka itu, kenangan itu.

Dan Ipung? Seperti apakah dia sekarang ini? Juga Romo Hadi, dan kawan-kawan yang lain? Kepala Lia serasa dipenuhi berbagai pertanyaan. Ketika kantuk yang pertama menyerangnya, lewat tengah malam sudah. Embun yang pertama mulai terbentuk di dedaunan dan pepohonan. Ia pun jatuh tertidur dengan pertanyaan-pertanyaan masih menggantung di benaknya.

Lia dan Ipung menatap langit sore musim gugur yang kelabu dan berawan. Yongdusan Park di kawasan Nampo-dong masih ramai dikunjungi orang. Di situ terdapat Busan Tower, menara setinggi 120 meter yang menjadi semacam lansekap kota terbesar kedua di Korea Selatan itu. Kebersamaan di antara mereka selama hampir dua hari membuat Lia berpikir, rasanya ada yang berubah dari diri Ipung sekarang, entah apa. Yang pasti Lia merasakan Ipung semakin matang, meskipun gaya bicaranya masih tetap bersemangat seperti dulu. Mungkin juga karena penampilannya sudah jauh berubah. Rambutnya tak lagi gondrong. Ia juga terlihat lebih segar dan lebih gemuk.

"Aku sekarang sudah bisa menghentikan kebiasaan merokok, Lia," akunya dengan bangga. Lia mengacungkan jempol, karena tahu susahnya dulu meminta Ipung mengurangi kebiasaan merokoknya. Ya, dulu memang Ipung perokok berat.

Namun gaya santai dan bersahajanya masih tetap sama. Meskipun Lia meledek sekarang Ipung sudah jadi tokoh LSM berskala nasional yang kadang-kadang dikutip komentarnya oleh media massa. Toh ia hanya menyiapkan satu setel jas dan dasi untuk acara di Seoul.

"Berarti selama empat hari pertemuan dan seminar HAM Asia Pasifik di Seoul kemarin itu, kau tak pernah berganti jas ya, Pung?" ledek Lia sambil tergelak. Ipung ikut tertawa.

Seluruh barangnya memang cukup dibawa dalam satu ransel. Ketika Lia bertanya kenapa bawaannya ringkas sekali, sambil tersenyum Ipung menjawab, ia toh hanya pergi seminggu. Kebutuhannya tidak banyak, dan semuanya sudah termuat dalam ransel merahnya itu. "Malah aku dapat tambahan sabun, odol, dan sikat gigi dari hotel tempatku menginap di Seoul, plus dua kondom gratis," tambahnya lagi yang membuat Lia kembali tertawa.

"Pung, Pung, untung saja kau juga tidak tergoda menilep handuk hotel," kata Lia.

"Siapa bilang tidak tergoda? Hanya saja aku masih cukup waras untuk tidak menambah coreng di wajah bangsa sendiri," sahut Ipung.

Namun Lia menangkap satu hal asasi yang tak berubah dalam diri Ipung. Lelaki itu tetap seorang muda yang gelisah melihat perkembangan keadaan di negerinya. Semangatnya untuk melakoni apa yang diyakininya benar masih tetap sama. Mungkin ia kecewa dan marah dengan masih buruknya keadaan di tanah air mereka. Lia bisa menangkap kegelisahan itu. Namun ia juga yakin Ipung terlalu liat untuk menjadi putus asa dan kehilangan akal sehat dalam jalan yang diyakininya.

Setelah puas mereguk berbagai cerita mengenai perkembangan di tanah air, teman-teman dan kenalan mereka, Lia juga akhirnya yang mengerem Ipung bercerita lebih banyak. "Sudah Pung, lupakan dulu urusan di negara kita. Kau toh hanya punya waktu dua hari untuk menikmati liburan di sini. Kenapa sih kau tak bisa bersikap seperti turis biasa?"

Ipung tertawa dan memencet hidung Lia. Ah, kebiasaan lamanya itu tak juga hilang. Lia menarik tangan Ipung. "Kau lupa aku di sini dipanggil kyosu, artinya profesor. Kau kok enak-enak saja memencet hidung orang," katanya sambil bersungut-sungut.

Ipung masih mencoba menyerang Lia dengan kata-kata. "Aku tahu kenapa kau memintaku berhenti bercerita mengenai keadaan di negara kita? Itu kompleks khas orang yang tinggal di luar negeri. Kau sudah terbiasa tertib dan nyaman berada di negeri orang, sehingga tidak tahan dengan cerita semrawutnya tanah air sendiri."

"Boleh jadi juga benar. Namun aku cuma kasihan sama kamu. Sekali-kali bersikap seperti orang lain kenapa sih? Sudah, nikmati saja liburanmu yang cuma dua hari. Aku akan menjadi guide yang baik buatmu."

"Oke, Nona, apa sih yang bisa dinikmati dari kota ini. Eh, ada hiburan malam buatku, nggak?"

"Hus, ngawur. Daerah lampu merah di sini aku tahu.
Yang namanya Texas Road itu, persis di seberang Busan Yok, banyak cewek Rusia cantik-cantik lho. Tapi aku nggak sudi ngajak kamu ke sana."

"Hehehehe, cemburu?"

"Ge er!"
Dua hari itu dihabiskan Lia mengajak Ipung berkeliling menikmati tempat-tempat wisata di kota Busan. Ipung terpesona dengan keindahan dan keluasan kuil Pomosa, kuil Budha yang sudah berusia ratusan tahun. Entah berapa rol film dihabiskannya di tempat itu. Ketika berkunjung ke pantai Haeundae yang menjadi kebanggaan warga kota Busan, ia manggut-manggut, setuju dengan Lia yang menilai pantai itu sebenarnya tak lebih indah dari Kuta di Bali. "Kita mungkin punya lebih banyak pantai yang indah. Tapi kelebihannya, orang Korea itu mau menjaga ketertiban dan kebersihan bersama seperti kau lihat sendiri kan Pung?"

Malamnya Lia mengajak Ipung jalan-jalan menikmati Somyon, pusat kota Busan. Di sana mereka bertemu dengan Hyun-jin dan beberapa mahasiswa Lia lainnya untuk minum-minum dan bertukar cerita di salah satu hof, tempat minum yang ada di Somyon. Tampak benar Ipung menikmati hari pertamanya itu.

Keesokan harinya, di sinilah mereka berada sekarang, di Yongdusan Park. Mereka berdua cukup letih setelah mengunjungi beberapa tempat lain. Lia senang melihat Ipung terkesan menikmati liburannya. Beberapa jam lagi mereka sudah harus sampai di Busan Yok dan berpisah di sana. Ipung akan naik kereta kembali ke Seoul malam ini juga, untuk mengejar penerbangan kembali ke Jakarta esok hari.

Angin mengalir ke arah Yongdusan Park dari arah laut. Dan Ipung masih terpesona melihat ratusan merpati terbang berkeliaran di Yongdusan Park, setengah jinak, mengharapkan serpihan makanan yang disebarkan pengunjung taman itu. Mereka duduk-duduk di salah satu satu sudut dekat Busan Tower. Lia baru saja mengajak Ipung ke tempat itu, setelah tadi sempat menikmati lanskap kota Busan dari ketinggian 120 meter. Ipung terkesan melihat sebuah kota tumbuh dan berkembang di antara perbukitan.

"Mahasiswaku tidak terlalu suka pergi ke tempat ini, Pung," kata Lia sambil mengarahkan pandangannya ke arah laut. Laut adalah bagian yang selalu memukau hatinya. Senja itu ia masih dapat melihat birunya laut dan kapal-kapal ikan bersandar di dermaga pasar ikan Chagalch’i.

"Mengapa, bukankah ini taman yang bagus?" Ipung mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, dan berhenti pada sosok patung Laksamana Yi Sun-shin yang membelakangi Busan Tower.

"Mereka tidak suka tempat ini karena menjadi tempat berkumpul orang-orang tua. Kau tadi lihat kan orang-orang tua yang berkumpul, menari, nyanyi-nyanyi, mabuk. Hampir setiap hari mereka berkumpul di sini untuk bersenang-senang seperti itu."

Ya, Ipung juga melihatnya tadi. Ia terheran-heran melihat banyak orang tua berkumpul, menari, bermain padhuk dan changgi, catur khas Korea itu, dan mendengarkan kkaengwari, musik tradisional, sambil menari. Sebagian asyik dengan botol soju atau makkoli, anggur beras, dan menggeletak begitu saja di sudut-sudut taman, mabuk minuman keras.

"Kasihan ya, Pung, orang-orang tua kesepian itu. Di taman ini juga ada orang-orang menganggur, korban PHK, yang duduk-duduk merintang waktu, mencoba melupakan tekanan hidup sehari-hari yang berat." Ipung mengangguk-angguk.

"Tapi bagaimanapun, kesan sekilas, kehidupan mereka sehari-hari tetap lebih baik dari kehidupan banyak orang di negeri kita sendiri," kata Ipung.

"Sudahlah Pung, tinggal beberapa jam lagi liburanmu, masih juga mengingat kemalangan bangsa sendiri," Lia tersenyum. Juga Ipung.

"Lho, kan kau sendiri yang memulai cerita sedih orang-orang tua itu."

Mereka sejenak terdiam kembali, lampu-lampu taman mulai dinyalakan karena hari berangsur-angsur menjadi gelap. Lia merasa ada sesuatu yang sebenarnya ingin Ipung ungkapkan sebelum mereka berpisah malam ini. Ia menunggu.

Tidak lama, karena kemudian Ipung menggeser duduknya dan mengubah sikapnya menjadi lebih serius. "Begini Lia, ada hal yang ingin kutanyakan kepadamu sebelum kita berpisah malam ini." Lia menenangkan diri. Ia menatap Ipung, dan kembali menunggu.

"Kau tahu kan perasaanku selama ini padamu. Kurasa aku tak bisa menunggu lebih lama lagi dan minta ketegasan darimu."

"Kau sudah mulai bosan ya Pung berpacaran dengan banyak wanita?" Lia bertanya dengan nada biasa. Ia harus kuat sekarang. Ia sendiri harus menentukan langkah hidupnya.

"Mungkin juga, aku sekarang ingin serius membina hubungan dengan satu wanita."

Lia terdiam. Ia tahu Ipung tidak main-main, sekali ini. Jarang ia melihat Ipung bisa bersikap serius seperti kali ini.

Setelah berpikir sejenak dan menguatkan dirinya, akhirnya terlontar juga kata-kata itu dari mulut Lia. "Pung, mengenalmu selama ini, adalah salah satu bagian terbaik dalam hidupku. Tapi maaf Pung, kurasa aku tak bisa." Lia menunduk dan memalingkan wajahnya ke arah laut. Sesekali cahaya lampu kapal terlihat berkerlap-kerlip dari arah kegelapan laut. Di benaknya, tanpa dapat ditahannya, muncul sosok John Taylor.

Dan ia tak heran melihat Ipung bisa menerima kata-kata itu dengan sikap tenang. Mungkin Ipung telah siap menerima kata-kata apapun yang keluar dari mulutnya.

Ipung membuang pandangannya sejenak, dan kemudian menatap lurus ke arah mata Lia. "Terima kasih Lia, betapapun hasilnya tidak seperti yang kuharapkan, tapi mendengar sebagian kata-katamu tadi, sudah cukup melegakan hatiku. Maaf, apakah ada laki-laki lain?"

"Mungkin," jawab Lia pendek.

"Mungkin?"

"Ya, karena memang belum ada komitmen apapun dengan laki-laki itu."

"Dosen asing di tempatmu mengajar?"

Lia mengangguk. Ipung memegang kedua bahu Lia. Senyumnya melegakan hati Lia. "Siapapun dia, mudah-mudahan dia lelaki yang tepat untukmu. Sayang aku harus pergi malam ini juga. Kalau tidak, aku akan senang berkenalan dengannya."

"Dan kau? Bagaimana dengan kau sendiri Pung?"

"Entahlah, setelah kau menolak, mungkin Fitri…" Ipung tersenyum misterius.

Lia tersenyum. "Fitri? Si manis yunior kita itu? Yang lincah dan cukup militan?"

Ipung mengangguk. Ganti Lia memukul bahu Ipung. "Aku tahu dia anak baik. Awas, jangan main-main lagi dengan wanita, Pung. Anak itu pantas menjadi pacar seriusmu." Ipung tertawa sambil meringis menahan sakit pada bahunya yang ditinju Lia. Plong hati Lia. Ia merasa mereka berdua telah menyelesaikan masalah itu secara baik dan dewasa.

Di Busan Yok, Ipung memeluk Lia untuk terakhir kalinya. Ia harus segera masuk ke dalam peron, karena kereta ekspres Seomaul yang akan membawanya kembali ke Seoul akan segera berangkat. Besok pagi pukul 11.00 siang, pesawat yang ditumpanginya menuju Jakarta akan berangkat dari pelabuhan udara Incheon. Lia merasakan keterharuan yang dalam. Bohong jika ia merasa tidak kehilangan. Bagaimanapun, perjalanan hidupnya bersama Ipung akan selalu menjadi bagian dari lembaran-lembaran terbaik kehidupannya.

"Selamat jalan Pung, salam buat semua teman-teman di tanah air, salam juga buat Fitri," bisik Lia. Ipung mengangguk. Rahangnya mengeras, mencoba menghalau keterharuan yang membuat tenggorokannya menjadi tersekat. Ia mengelap air mata yang membasahi pipi Lia dengan tangannya, dan kemudian melambaikan tangannya. Perlahan tubuh Ipung pun lenyap di antara deretan penumpang yang berbaris tertib memasuki peron.

Meskipun tetap merasa kehilangan, Lia merasa apa yang telah diputuskannya bersama Ipung adalah langkah yang terbaik untuk mereka berdua.
Lagi pula Lia tak yakin dengan perasaannya sendiri. Ia masih akan lama di Busan. Sosok John Taylor masih akan lama bersamanya, dan ketertarikan di antara mereka berdua berkembang menjadi sesuatu yang tak tertahankan. Ia tahu sampai di mana batas kekuatannya. Di antara dirinya dan Ipung terentang jarak ribuan kilometer. Menjaga komitmen hubungan mereka akan menjadi sesuatu yang absurd dan sia-sia belaka. Karena ia tak yakin akan mampu memenuhinya.

Ya, bagaimanapun juga Lia merasa kehilangan. Di dalam taksi yang mengantarnya kembali ke tempat tinggalnya, benak Lia dipenuhi oleh berbagai kenangan yang telah dilaluinya bersama Ipung.
Jika diibaratkan laut, Ipung adalah laut dengan gelombang-gelombang besar. Ipung dengan segala kegelisahan dan sepak terjangnya. Ah, hidup terkadang memang menyodorkan paradoks dan pilihan-pilihannya sendiri. Mungkin Lia tak akan tahan di tengah laut yang seperti itu, meskipun ia menginginkannya.

Lagi pula, bagaimana dengan lelaki yang satu itu? Bayangan wajah Ipung ganti berganti muncul bersama bayangan wajah John Taylor. Jika Ipung adalah laut dengan gelombang-gelombang besar, bagaimana dengan lelaki Amerika itu? Ah, mungkin lebih tepat jika John Taylor adalah laut dengan ombak kecil yang selalu mengalun dengan teratur.

Ketukan di pintu apartenya menyadarkan Lia. Ia mengangkat mukanya. Matanya masih terlihat sembab. Bagaimanapun, ia tetap wanita yang sesekali tidak bisa menahan keluarnya air mata. Lia melirik jam dinding, baru pukul sepuluh malam. Terhitung masih siang buat lingkungan di Korea yang biasa tetap hidup dan berdenyut sampai melewati tengah malam.

Lia mendekat dan bertanya, "Siapa?"

Suara yang sangat dikenalnya itu yang menjawab. Lia tertegun. Mau apa dia malam-malam ke sini? Lagi pula, aduh, bukankah sembab pada matanya itu hanya akan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan konyol. Ketertegunannya berubah menjadi kegugupan.

John Taylor berdiri di ambang pintu. Senyumnya terkesan ragu-ragu. "Maaf aku tidak menelepon terlebih dulu. Dari jendela aparte tadi aku melihatmu kembali, sendirian. Dan, hei, mengapa wajahmu terlihat sedih?" Ia tak berani masuk ke dalam karena Lia belum menyuruhnya masuk.

Lia berpura-pura menunjukkan muka gusar. Dan ia baru sadar bahwa wajahnya saat itu pasti tampak berantakan. "Huh, kau ini, lagi-lagi bertingkah seperti kau ini ayahku saja. Kau memata-mataiku ya? Eh, masuklah John."

Mereka duduk berhadapan. Lia mengumpat dalam hati, mengapa ia menjadi gugup sendiri. John tersenyum malu-malu. Tampak ia berusaha menguasai perasaannya sendiri. Lia mengangkat wajahnya, dan kembali menunduk, tak tahan dengan mata yang begitu biru itu, yang melihat ke arahnya dengan pandangan yang sukar ditebak maknanya.

Lia mengalihkan pandangannya ke arah foto dirinya dan Ipung bersama teman-teman lainnya, di atas meja kerjanya. John mengekor dengan pandangan matanya. "Kau tahu siapa yang bersamaku selama dua hari ini, John?"

John mengangguk. Lia memperoleh kembali keberanian dan kepercayaan dirinya. "Dan cerita macam apa yang ingin kau dengar dariku, John?"

Lia melihat pemuda pemalu itu berubah menjadi gugup. "Ah, eh, tentu saja itu urusanmu, bukan urusanku."

Muncul keisengan Lia untuk menggodanya. "Bagaimana kalau kukatakan ia sengaja datang untuk memintaku menikah dengannya?"

John tampak terperanjat. Kalau saja tidak kasihan dengan sikap pemuda itu yang begitu serius, Lia tentu sudah meledak dalam tawa. John berdiri, dan melangkah mendekati jendela, kehilangan kata-kata. Kapan ia bisa bersikap seperti laki-laki lain, pikir Lia. Kalau saja ia tak begitu pemalu seperti itu? Ah, Lia tak tega untuk meneruskan permainannya.
Ia menghampiri John, dan berdiri di sampingnya. Malam bulat sempurna di luar aparte.

"Antara aku dan dia sudah selesai, John. Sudah selesai," kata Lia, hampir seperti berbisik.

John kaget merasakan wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu kanannya. Bau segar yang menyenangkan meruap dari kepala mungil berhiaskan rambut hitam tebal itu. Bibir John bergerak, namun tak satu pun kata sempat keluar, karena Lia keburu menyentuhkan telunjuk kanannya ke bibir John. Lia ingin menikmati keheningan itu. Tak semua pertanyaan harus dijawab hari ini bukan?

John memberanikan diri mengangkat tangannya dan mengelus rambut yang lebat dan legam itu. Mulutnya urung bertanya. Sesosok malam musim gugur yang berawan mengambang di luar jendela. Langit tanpa bintang. Terasa dingin dan gelap di luar, namun tidak di dalam hati mereka berdua.

TAMAT


0 komentar :

Posting Komentar

 
;