Setahun Di Kota Kecil
Guna Sitompul
Nana memilih bekerja di Kota Kecil, tak
hanya untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa ia sanggup, tapi juga ingin
tahu, apakah ia istimewa di hati ayahnya….
Nana tidak pernah mengkhawatikan posisinya
di bank tempatnya bekerja. Hal yang paling merisaukannya, apabila dia tidak
bisa lagi menulis. Di mana pun dia berada, asal dapat menulis, hal lainnya
dapat ditoleransi. Nana dan rekan seangkatannya — semuanya dua puluh lima orang
— karyawan baru di Bank Nasional. Setelah melewati masa pelatihan selama
sebelas bulan, mereka ditempatkan di cabang-cabang bank di daerah.
Nana memilih Kota Kecil di Sumatra, karena
merupakan tanah leluhurnya. Keluarga besarnya bermukim di sana. Sebenarnya,
Nana bisa memilih kantor pusat, karena bosnya sangat membutuhkan tenaga analis
seperti dirinya.
Selama pelatihan, dialah satu-satunya orang
yang beruntung karena bisa magang di kantor pusat. Hal ini tak terlepas dari
latar belakang pendidikannya, strategi manajemen. Kepala bagian pelatihan menilai
Nana cenderung berpikir secara konseptual ketimbang secara teknis. Alasan
inilah yang membuat Nana mendapat kesempatan magang di kantor pusat, di mana
kebijakan-kebijakan disusun secara konseptual.
Tapi, toh, Nana memilih Kota Kecil dengan
berbagai pertimbangan yang sebelumnya telah dibicarakannya dengan Pak Adi,
mantan dosennya di universitas. Ia ingin tahu bagaimana rasanya bekerja
berhadapan langsung dengan nasabah, selain tentu saja ingin lebih dekat dengan
keluarga besarnya.
“Ibu saya pendiam, Ayah suka mengatur.
Mungkin mereka pasangan yang cocok. Ah, entahlah. Tapi, pada dasarnya, saya
kurang mengenal mereka. Dari kecil saya tinggal dengan Ompung, nenek dari pihak
Ibu, sampai beliau meninggal lima tahun lalu. Ayah jarang berbicara dengan anak
perempuannya. Ia lebih dekat dengan adik laki-laki saya. Sungguh, saya sangat
ingin lebih mengenal keluarga besar saya.” Pak Adi mendengarkan cerita Nana
sambil menekuk tangannya. Matanya yang teduh dan wajah ramahnya mendorong
mahasiswa bercerita terbuka kepadanya.
“Akan ada mutasi di kantor, Pak. Saya bisa
saja memilih kota metropolitan, tapi lowongan di Kota Kecil, tempat kelahiran
saya, rasanya lebih menarik. Ada baiknya jika saya bertugas di sana. Saya punya
waktu untuk mengenal keluarga lebih dekat,” Nana melanjutkan. Matanya
menerawang, memandang ke sekeliling ruangan Pak Adi, sesuatu yang selalu
dilakukannya bila dia ingin menangis. “Saya ingin tahu, apakah ada tempat yang
istimewa bagi saya di dalam hati Ayah,” Nana akhirnya berkata pelan sembari membuang
mukanya, agar tidak tampak seperti orang yang bersedih.
Pak Adi memberi jawaban setelah menunggu
emosi Nana reda. “Ikutilah kata hatimu, Nak. Saya termasuk orang yang mengikuti
kata hati. Walau terkadang yang saya lakukan itu tidak selalu yang terbaik,
setidaknya dengan mengikuti kata hati, saya jujur pada diri sendiri.”
“Oh, ya. Ada hal lain lagi, Pak! Sebenarnya
saya juga bertaruh dengan teman-teman di kantor pusat. Mereka bilang, saya
tidak mampu bertahan di kantor cabang selama satu tahun. Mereka bilang, saya
sangat kaku dan tidak ramah. Mereka bahkan mengatakan, seminggu pun saya tidak
tahan, karena saya akan bertemu dengan banyak nasabah yang memiliki beragam
karakter!” Nana cemberut, membuat Pak Adi geli melihatnya. Dibayangkannya wajah
gadis itu ketika digoda teman-teman sekantornya. Pasti dia cemberut seperti
saat ini!
“Saya benar-benar merasa dilecehkan, Pak.
Kemampuan inteligensi saya dipertanyakan. Saya ingin membuktikan, bahwa saya
mampu bekerja di kantor cabang dan menghadapi nasabah dengan berbagai sifat.
Bukan hanya seminggu atau dua minggu, tapi satu tahun penuh! Saya yakin, saya
pasti mampu!”
Kalau saja Nana dapat menyemburkan api
seperti naga, pastilah Pak Adi sudah terbakar. Yang jelas, mantan dosennya itu
hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa lucu, karena tampaknya
Nana tidaklah membutuhkan jawaban lagi darinya. Gadis itu sudah mengambil
keputusannya sendiri!
Akhirnya, Nana bertugas ke Kota Kecil. Ia
sempat menyesali keputusannya, karena merasa akan masuk ke dalam mulut harimau
yang siap melumat dirinya Tapi, Eve, salah seorang mentornya yang selalu
berusaha memahami dirinya yang kaku, sudah membekalinya banyak hal. Bahkan, Eve
meminta Bebe — seorang teman seangkatannya ketika diterima bekerja di bank,
yang kebetulan bertugas di Kota Kecil— untuk membantu Nana.